Rib'i bin Hirasy adalah seorang tabiin yang dikenal tidak pernah berdusta. Suatu hari dua putranya tiba dari Khurasan berkumpul dengannya. Mereka berdua adalah pemberontak pada masa pemerintahan Gubernur Al-Hajjaj. Sedangkan, Al-Hajjaj adalah seorang pemimpin bertangan besi yang menghendaki anak-anak Rib'i itu ditangkap.
Seorang mata-mata memberi kabar kepada Al-Hajjaj. Katanya, "Wahai pimpinanku, masyarakat seluruhnya menganggap Rib'i bin Hirasy tidak pernah berdusta selamanya. Sementara itu, saat ini kedua anaknya yang pemberontak dari Khurasan berkumpul dengannya."
"Baiklah," kata Al-Hajjaj, "bawalah ayah mereka ke sini!" perintahnya.
Rib'i mengetahui bahwa anaknya adalah buronan pemerintah karena pemberontakannya. Namun, ia tidak tahu alasan sang gubernur memanggilnya.
Dalam benak Al-Hajjaj sendiri menyangsikan akan kejujuran Rib'i, "Akankah seorang ayah berkata jujur saat mengetahui anaknya dalam bahaya? Seorang ayah tidak akan memberitahukan keberadaan anaknya demi keselamatan mereka," pikir Al-Hajjaj.
Sang gubernur pun bertanya kepada Rib'i, "Wahai orang tua, beritahukanlah keberadaan anakmu saat ini?"
Dengan santainya Rib'i menjawab, "Mereka berada di rumah!"
Mendengar penyataan jujur tersebut, Al-Hajjaj berkata, "Tidak ada pidana. Kami memaafkan keduanya karena kejujuranmu. Demi Allah, sekarang aku yakin kau tidak akan menyembunyikan anakmu. Sekarang kedua anakmu terserah kepadamu. Keduanya bebas dari tuduhan pidana."
Thursday, June 28, 2012
Tukang Bakso Dorong
Cerita dari seorang pegawai biasa. Di suatu senja sepulang kantor, saya masih berkesempatan untuk ngurus tanaman di depan rumah, sambil memperhatikan beberapa anak asuh yang sedang belajar menggambar peta, juga mewarnai. Hujan rintik rintik selalu menyertai di setiap sore di musim hujan ini.
Di kala tangan sedikit berlumuran tanah kotor,...terdengar suara tek...tekk.. .tek...suara tukang bakso dorong lewat. Sambil menyeka keringat..., ku hentikan tukang bakso itu dan memesan beberapa mangkok bakso setelah menanyakan anak - anak, siapa yang mau bakso ?
"Mauuuuuuuuu. ...", secara serempak dan kompak anak - anak asuhku menjawab.
Selesai makan bakso, lalu saya membayarnya. ...
Ada satu hal yang menggelitik fikiranku selama ini ketika saya membayarnya, si tukang bakso memisahkan uang yang diterimanya. Yang satu disimpan dilaci, yang satu ke dompet, yang lainnya ke kaleng bekas kue semacam kencleng. Lalu aku bertanya atas rasa penasaranku selama ini.
"Mang kalo boleh tahu, kenapa uang - uang itu Emang pisahkan? Barangkali ada tujuan ?" "Iya pak, Emang sudah memisahkan uang ini selama jadi tukang bakso yang sudah berlangsung hampir 17 tahun. Tujuannya sederhana saja, Emang hanya ingin memisahkan mana yang menjadi hak Emang, mana yang menjadi hak orang lain / tempat ibadah, dan mana yang menjadi hak cita - cita penyempurnaan iman ".
"Maksudnya.. ...?", saya melanjutkan bertanya.
"Iya Pak, kan agama dan Tuhan menganjurkan kita agar bisa berbagi dengan sesama. Emang membagi 3, dengan pembagian sebagai berikut :
- Uang yang masuk ke dompet, artinya untuk memenuhi keperluan hidup sehari - hari Emang dan keluarga.
- Uang yang masuk ke laci, artinya untuk infaq/sedekah, atau untuk melaksanakan ibadah Qurban. Dan alhamdulillah selama 17 tahun menjadi tukang bakso, Emang selalu ikut qurban seekor kambing, meskipun kambingnya yang ukuran sedang saja.
- Uang yang masuk ke kencleng, karena emang ingin menyempurnakan agama yang Emang pegang yaitu Islam. Islam mewajibkan kepada umatnya yang mampu, untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji ini tentu butuh biaya yang besar. Maka Emang berdiskusi dengan istri dan istri menyetujui bahwa di setiap penghasilan harian hasil jualan bakso ini, Emang harus menyisihkan sebagian penghasilan sebagai tabungan haji. Dan insya Allah selama 17 tahun menabung, sekitar 2 tahun lagi Emang dan istri akan melaksanakan ibadah haji.
Hatiku sangat...... .....sangat tersentuh mendengar jawaban itu. Sungguh sebuah jawaban sederhana yang sangat mulia. Bahkan mungkin kita yang memiliki nasib sedikit lebih baik dari si emang tukang bakso tersebut, belum tentu memiliki fikiran dan rencana indah dalam hidup seperti itu. Dan seringkali berlindung di balik tidak mampu atau belum ada rejeki.
Terus saya melanjutkan sedikit pertanyaan, sebagai berikut : "Iya memang bagus...,tapi kan ibadah haji itu hanya diwajibkan bagi yang mampu, termasuk memiliki kemampuan dalam biaya....".
Ia menjawab, " Itulah sebabnya Pak. Emang justru malu kalau bicara soal mampu atau tidak mampu ini. Karena definisi mampu bukan hak pak RT atau pak RW, bukan hak pak Camat ataupun MUI.
Definisi "mampu" adalah sebuah definisi dimana kita diberi kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri. Kalau kita mendefinisikan diri sendiri sebagai orang tidak mampu, maka mungkin selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu. Sebaliknya kalau kita mendefinisikan diri sendiri, "mampu", maka Insya Allah dengan segala kekuasaan dan kewenangannya Allah akan memberi kemampuan pada kita".
"Masya Allah..., sebuah jawaban elegan dari seorang tukang bakso".
sumber :Kaskus
Wednesday, June 27, 2012
Sejarah Singkat Imam Hanbali
"Ia murid paling cendekia yang pernah saya jumpai selama di Baghdad. Sikapnya menghadapi sidang pengadilan dan menanggung petaka akibat tekanan khalifah Abbasiyyah selama 15 tahun karena menolak doktrin resmi Mu'tazilah merupakan saksi hidup watak agung dan kegigihan yang mengabdikannya sebagai tokoh besar sepanjang masa." Penilaian ini diungkapkan oleh Imam Syafi'i, yang tak lain adalah guru Imam Hanbali. Menurut Syafi'i, perjuangan mempertahankan keyakinan yang tak sesuai dengan pemikiran seseorang, selalu menghadapi risiko antara hidup dan mati. Dan Imam Hanbali membuktikan hal itu.
Imam Hanbali yang dikenal ahli dan pakar hadits ini memang sangat memberikan perhatian besar pada ilmu yang satu ini. Kegigihan dan kesungguhannya telah melahirkan banyak ulama dan perawi hadits terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud yang tak lain buah didikannya. Karya-karya mereka seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim atau Sunan Abu Daud menjadi kitab hadits standar yang menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah SAW lewat hadits-haditsnya.
Kepakaran Imam Hanbali dalam ilmu hadits memang tak diragukan lagi sehingga mengundang banyak tokoh ulama berguru kepadanya. Menurut putra sulungnya, Abdullah bin Ahmad, Imam Hanbali hafal hingga 700.000 hadits di luar kepala.
Imam Hanbali yang dikenal ahli dan pakar hadits ini memang sangat memberikan perhatian besar pada ilmu yang satu ini. Kegigihan dan kesungguhannya telah melahirkan banyak ulama dan perawi hadits terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud yang tak lain buah didikannya. Karya-karya mereka seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim atau Sunan Abu Daud menjadi kitab hadits standar yang menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah SAW lewat hadits-haditsnya.
Kepakaran Imam Hanbali dalam ilmu hadits memang tak diragukan lagi sehingga mengundang banyak tokoh ulama berguru kepadanya. Menurut putra sulungnya, Abdullah bin Ahmad, Imam Hanbali hafal hingga 700.000 hadits di luar kepala.
Pribadi Umar bin Abdul Aziz RA
Diriwayatkan ketika Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai Gubernur Madinah, seorang laki-laki membaca di hadapannya sebuah ayat al-Qur’an yang berbunyi:
وَإِذَا أُلْقُوْا مِنْهَا مَكَاناً ضَيِّقًا مُقَرَّنِيْنَ دَعَوْا هُنَالِكَ ثُبُوْرًا
“Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka di sana mengharapkan kebinasaan.” (QS. Al-Furqan: 13)
Mendengarnya seketika Umar menangis. Dan tangisannya itu bertambah keras dan meledak-ledak. Sambil menangis keras, Umar bangkit dan pulang ke rumahnya. Dan orang-orang yang ada di sekelilingnya pun bubar
Adapun tafsiran ayat yang dimaksud di atas adalah; ‘Dan apabila para pendusta hari kiamat itu dilemparkan ke dalam neraka sebagai tempat yang teramat sempit, kedua tangan mereka dibelenggu ke leher mereka
Abu Mardud pernah bercerita. Katanya: Aku pernah mendengar bahwa suatu hari Umar bin Abdul Aziz membaca ayat:
وَمَا تَكُوْنُ مِنْ شَأْنٍ وَمَا تَتْلُوْا مِنْهُ مِنْ قُرْآنٍ وَلاَ تَعْمَلُوْنَ مِنْ عَمَلٍ إِلاَّ كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُوْدًا إِذْ تُفِيْضُوْنَ فِيْهِ...الآية
“Kamu tidak berada dalam suatu Keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Qur’an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya…” (QS. Yunus: 61)
Umar bin Abdul Aziz
Saat itu tengah malam di kota Madinah. Kebanyakan warga kota sudah tidur. Umar bin Khatab r.a. berjalan menyelusuri jalan-jalan di kota. Dia coba untuk tidak melewatkan satupun dari pengamatannya. Menjelang dini hari, pria ini lelah dan memutuskan untuk beristirahat. Tanpa sengaja, terdengarlah olehnya percakapan antara ibu dan anak perempuannya dari dalam rumah dekat dia beristirahat.
“Nak, campurkanlah susu yang engkau perah tadi dengan air,” kata sang ibu.
“Jangan ibu. Amirul mukminin sudah membuat peraturan untuk tidak menjual susu yang dicampur air,” jawab sang anak.
“Tapi banyak orang melakukannya Nak, campurlah sedikit saja. Tho insyaallah Amirul Mukminin tidak mengetahuinya,” kata sang ibu mencoba meyakinkan anaknya.
“Ibu, Amirul Mukminin mungkin tidak mengetahuinya. Tapi, Rab dari Amirul Mukminin pasti melihatnya,” tegas si anak menolak.
Mendengar percakapan ini, berurailah air mata pria ini. Karena subuh menjelang, bersegeralah dia ke masjid untuk memimpin shalat Subuh. Sesampai di rumah, dipanggilah anaknya untuk menghadap dan berkata, “Wahai Ashim putra Umar bin Khattab. Sesungguhnya tadi malam saya mendengar percakapan istimewa. Pergilah kamu ke rumah si anu dan selidikilah keluarganya.”
“Nak, campurkanlah susu yang engkau perah tadi dengan air,” kata sang ibu.
“Jangan ibu. Amirul mukminin sudah membuat peraturan untuk tidak menjual susu yang dicampur air,” jawab sang anak.
“Tapi banyak orang melakukannya Nak, campurlah sedikit saja. Tho insyaallah Amirul Mukminin tidak mengetahuinya,” kata sang ibu mencoba meyakinkan anaknya.
“Ibu, Amirul Mukminin mungkin tidak mengetahuinya. Tapi, Rab dari Amirul Mukminin pasti melihatnya,” tegas si anak menolak.
Mendengar percakapan ini, berurailah air mata pria ini. Karena subuh menjelang, bersegeralah dia ke masjid untuk memimpin shalat Subuh. Sesampai di rumah, dipanggilah anaknya untuk menghadap dan berkata, “Wahai Ashim putra Umar bin Khattab. Sesungguhnya tadi malam saya mendengar percakapan istimewa. Pergilah kamu ke rumah si anu dan selidikilah keluarganya.”
Segala Puji Hanya untuk Allah SWT
Seorang ibu mendatangi kediaman Umar bin Abdul Aziz r.a dan diterima oleh istri Amirul Mukminin. Tak berapa lama kemudian, Umar r.a keluar dari dalam rumah sambil membawa beberapa buah-buahan yang ranum.
la pun memilih buah-buahan terbaiknya dan diberikan kepada tamunya, sedangkan buah-buahan yang hampir busuk ia sisihkan untuk diri dan keluarganya.
Setiap kali ibu tersebut menerima buah dari Amirul Mukminin, ia berucap, "Alhamdulillah ...."
Tentu saja hal ini menyenangkan hati Amirul Mukminin yang kemudian menanyakan maksud kedatangannya. "Saya memiliki lima orang anak yang belum memiliki pekerjaan, bantulah kami, wahai Amirul Mukminin," pinta ibu tersebut.
Mendengar hal itu, berlinanglah air mata Umar r.a. Ia menyesali dirinya yang lalai terhadap rakyatnya sehingga masih ada yang tidak kebagian pekerjaan, sementara ada pula yang bertumpuk jabatannya.
la pun memilih buah-buahan terbaiknya dan diberikan kepada tamunya, sedangkan buah-buahan yang hampir busuk ia sisihkan untuk diri dan keluarganya.
Setiap kali ibu tersebut menerima buah dari Amirul Mukminin, ia berucap, "Alhamdulillah ...."
Tentu saja hal ini menyenangkan hati Amirul Mukminin yang kemudian menanyakan maksud kedatangannya. "Saya memiliki lima orang anak yang belum memiliki pekerjaan, bantulah kami, wahai Amirul Mukminin," pinta ibu tersebut.
Mendengar hal itu, berlinanglah air mata Umar r.a. Ia menyesali dirinya yang lalai terhadap rakyatnya sehingga masih ada yang tidak kebagian pekerjaan, sementara ada pula yang bertumpuk jabatannya.
Keteladanan Umair bin Sa'ad r.a.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab r.a, penduduk Hims sangat kritis terhadap para pembesar mereka sehingga sering mengadu kepada Khalifah Umar. Setiap pembesar yang baru datang memerintah, ada saja celanya bagi mereka. Kemudian segala cela dan kesalahan pembesar tersebut dilaporkan kepada Khalifah agar diganti dengan pembesar lain yang lebih baik.
Penduduk Hims tidak ingin diperintah oleh pejabat yang 'bermasalah'. Kemudian Khalifah Umar mencari seseorang yang tidak bercacat dan namanya belum pernah rusak untuk menjadi gubernur di sana.
Khalifah Umar menyebarkan para utusannya mencari orang yang tepat dengan jabatan itu. Akhirnya, tidak diperolehnya orang yang lebih baik selain Umair bin Sa'ad r.a. Ketika itu Umair r.a sedang bertugas memimpin pasukan perang kaum muslimin di wilayah Syam.
Dalam tugas itu dia berhasil memimpin pasukannya untuk membebaskan beberapa kota, menundukkan beberapa kabilah, dan membangun masjid di setiap negeri yang dilaluinya. Pada saat itulah Umair r.a dipanggil pulang ke Medinah untuk memangku jabatan sebagai Gubernur Hims.
Sebenarnya di dalam hati yang paling dalam, Umair r.a enggan menerima tugas baru itu karena baginya tidak ada yang lebih utama selain perang fi sabilillah. Setibanya di Hims ia mengajak penduduk berkumpul di masjid untuk shalat berjemaah.
Selesai shalat dia menyampaikan pidato, "Hai manusia, sesungguhnya Islam adalah benteng pertahanan yang kukuh dan pintu yang kuat. Benteng Islam itu ialah keadilan dan pintunya ialah kebenaran. Apabila benteng itu ambruk dan pintunya roboh, pertahanan agama akan sirna. Islam akan senantiasa kuat selama kekuasaan tegak dengan kukuh. Tegaknya kekuasaan bukanlah dengan cemeti dan tidak pula dengan pedang, melainkan dengan menegakkan keadilan dan melaksanakan yang hak."
Umair bin Sa'ad bertugas sebagai Gubernur Hims hanya setahun. Selama itu dia tidak menulis sepucuk surat pun kepada Khalifah Umar di Medinah. Bahkan, ia pun tidak menyetorkan pajak satu dinar atau satu dirham pun ke Baitul Mal di Medinah.
Dikarenakan hal itu timbullah kecurigaan di hati Khalifah Umar r.a. tentang kepemimpinan Umair r.a. Ke manakah uang pajak yang seharusnya disetorkan ke Baitul Mal? Apakah Umair r.a. telah lalai dengan amanahnya?
Kemudian Khalifah Umar memerintahkan sekretaris negara untuk menulis surat kepada Gubernur Umair, "Katakan kepadanya jika surat ini sampai di tangan Anda, tinggalkanlah Hims dan segeralah menghadap Amirul Mukminin. Jangan lupa membawa sekalian pajak yang Anda pungut dari kaum muslimin."
Setelah Gubernur Hims, Umair bin Sa'ad r.a, membaca surat panggilan dari Amirul Mukminin, ia pun mempersiapkan diri untuk menemuinya. Kemudian diambilnya kantong perbekalan dan tempat air sebagai persediaan air wudu dalam perjalanan. Lalu, dia berangkat meninggalkan Hims.
Dia pergi mengayun langkah menuju Medinah dengan berjalan kaki. Ketika hampir tiba di Medinah, keadaannya pucat karena kurang makan dalam perjalanan. Tubuhnya kurus kering dan lemah, rambut dan jenggotnya sudah panjang, dan dia tampaksangat letih karena perjalanan yang sangat jauh.
Khalifah Umar r.a terkejut melihat keadaan Umair r.a yang begitu kepayahan. la pun menanyakan kabarnya dan dijawab oleh Umair r.a, "Tidak kurang suatu apa pun. Saya sehat, alhamdulillah, saya membawa dunia seluruhnya, saya tarik di kedua tanduknya."
Amirul Mukminin melanjutkan pertanyaannya, "Dunia manakah yang kaubawa?"
Umair r.a menjawab, "Saya membawa kantong perbekalan dan tempat air untuk bekal di perjalanan, beberapa lembar pakaian, air untuk wudu, membasahi kepala, dan minum. Itulah seluruh dunia yang saya bawa. Yang lain tidak saya perlukan."
Amirul Mukminin tertegun dengan jawaban gubernurnya. Ternyata ia masih zuhud seperti dulu, tidak ada yang berubah. Amirul Mukminin kembali bertanya, "Apakah Anda datang berjalan kaki?"
"Betul, ya Amirul Mukminin," tandas Umair r.a.
"Apakah Anda tidak diberi hewan kendaraan oleh pemerintah?" tanya Amirul Mukminin kembali.
"Tidak, mereka tidak memberi saya dan saya tidak pula memintanya dari mereka," jawab Umair r.a.
Amirul Mukminin langsung membawa pembicaraan ke pokok permasalahan, yaitu menagih uang pajak yang selama ini belum disetorkan ke Baitul Mal. la bertanya, "Mana setoran pajak yang kaubawa untuk Baitul Mal?"
"Saya tidak membawa apa-apa untuk Baitul Mal."
"Mengapa?"
"Setibanya di Hims, saya kumpulkan penduduk yang baik-baik, lalu saya perintahkan mereka memungut dan mengumpulkan pajak. Setiap kali mereka berhasil mengumpulkannya, saya bermusyawarah dengan mereka, untuk apa harta itu harus digunakan dan bagaimana cara membagi-bagikannya kepada yang berhak."
Amirul Mukminin bahagia mendengar penjelasan gubernurnya. Ternyata jabatan tidak membutakan hati Umair r.a. la masih Umair r.a yang dulu, seorang sahabat yang zuhud dan amanah. Kemudian Amirul Mukminin memerintah agar masa jabatan Umair r.a sebagai Gubernur Hims diperpanjang.
Namun, Umair menolaknya, "Maaf, wahai Amirul Mukminin, saya tidak menghendaki jabatan itu lagi. Mulai saat ini saya tidak ingin bekerja lagi untukmu atau untuk orang lain sesudahmu," kata Umair r.a memberikan alasan.
Umair r.a pun minta izin untuk pergi ke sebuah dusun di pinggiran kota Medinah dan akan menetap di sana bersama keluarganya. Di sana ia hidup sangat sederhana dan bahagia hingga ajal menjemputnya.
Ketika Amirul Mukminin, Umar r.a, mendengar kematian Umair r.a, ia berduka sangat dalam. la berkata, "Saya membutuhkan orang-orang seperti Umair bin Sa'ad untuk membantu saya mengelola masyarakat kaum muslimin."
Penduduk Hims tidak ingin diperintah oleh pejabat yang 'bermasalah'. Kemudian Khalifah Umar mencari seseorang yang tidak bercacat dan namanya belum pernah rusak untuk menjadi gubernur di sana.
Khalifah Umar menyebarkan para utusannya mencari orang yang tepat dengan jabatan itu. Akhirnya, tidak diperolehnya orang yang lebih baik selain Umair bin Sa'ad r.a. Ketika itu Umair r.a sedang bertugas memimpin pasukan perang kaum muslimin di wilayah Syam.
Dalam tugas itu dia berhasil memimpin pasukannya untuk membebaskan beberapa kota, menundukkan beberapa kabilah, dan membangun masjid di setiap negeri yang dilaluinya. Pada saat itulah Umair r.a dipanggil pulang ke Medinah untuk memangku jabatan sebagai Gubernur Hims.
Sebenarnya di dalam hati yang paling dalam, Umair r.a enggan menerima tugas baru itu karena baginya tidak ada yang lebih utama selain perang fi sabilillah. Setibanya di Hims ia mengajak penduduk berkumpul di masjid untuk shalat berjemaah.
Selesai shalat dia menyampaikan pidato, "Hai manusia, sesungguhnya Islam adalah benteng pertahanan yang kukuh dan pintu yang kuat. Benteng Islam itu ialah keadilan dan pintunya ialah kebenaran. Apabila benteng itu ambruk dan pintunya roboh, pertahanan agama akan sirna. Islam akan senantiasa kuat selama kekuasaan tegak dengan kukuh. Tegaknya kekuasaan bukanlah dengan cemeti dan tidak pula dengan pedang, melainkan dengan menegakkan keadilan dan melaksanakan yang hak."
Umair bin Sa'ad bertugas sebagai Gubernur Hims hanya setahun. Selama itu dia tidak menulis sepucuk surat pun kepada Khalifah Umar di Medinah. Bahkan, ia pun tidak menyetorkan pajak satu dinar atau satu dirham pun ke Baitul Mal di Medinah.
Dikarenakan hal itu timbullah kecurigaan di hati Khalifah Umar r.a. tentang kepemimpinan Umair r.a. Ke manakah uang pajak yang seharusnya disetorkan ke Baitul Mal? Apakah Umair r.a. telah lalai dengan amanahnya?
Kemudian Khalifah Umar memerintahkan sekretaris negara untuk menulis surat kepada Gubernur Umair, "Katakan kepadanya jika surat ini sampai di tangan Anda, tinggalkanlah Hims dan segeralah menghadap Amirul Mukminin. Jangan lupa membawa sekalian pajak yang Anda pungut dari kaum muslimin."
Setelah Gubernur Hims, Umair bin Sa'ad r.a, membaca surat panggilan dari Amirul Mukminin, ia pun mempersiapkan diri untuk menemuinya. Kemudian diambilnya kantong perbekalan dan tempat air sebagai persediaan air wudu dalam perjalanan. Lalu, dia berangkat meninggalkan Hims.
Dia pergi mengayun langkah menuju Medinah dengan berjalan kaki. Ketika hampir tiba di Medinah, keadaannya pucat karena kurang makan dalam perjalanan. Tubuhnya kurus kering dan lemah, rambut dan jenggotnya sudah panjang, dan dia tampaksangat letih karena perjalanan yang sangat jauh.
Khalifah Umar r.a terkejut melihat keadaan Umair r.a yang begitu kepayahan. la pun menanyakan kabarnya dan dijawab oleh Umair r.a, "Tidak kurang suatu apa pun. Saya sehat, alhamdulillah, saya membawa dunia seluruhnya, saya tarik di kedua tanduknya."
Amirul Mukminin melanjutkan pertanyaannya, "Dunia manakah yang kaubawa?"
Umair r.a menjawab, "Saya membawa kantong perbekalan dan tempat air untuk bekal di perjalanan, beberapa lembar pakaian, air untuk wudu, membasahi kepala, dan minum. Itulah seluruh dunia yang saya bawa. Yang lain tidak saya perlukan."
Amirul Mukminin tertegun dengan jawaban gubernurnya. Ternyata ia masih zuhud seperti dulu, tidak ada yang berubah. Amirul Mukminin kembali bertanya, "Apakah Anda datang berjalan kaki?"
"Betul, ya Amirul Mukminin," tandas Umair r.a.
"Apakah Anda tidak diberi hewan kendaraan oleh pemerintah?" tanya Amirul Mukminin kembali.
"Tidak, mereka tidak memberi saya dan saya tidak pula memintanya dari mereka," jawab Umair r.a.
Amirul Mukminin langsung membawa pembicaraan ke pokok permasalahan, yaitu menagih uang pajak yang selama ini belum disetorkan ke Baitul Mal. la bertanya, "Mana setoran pajak yang kaubawa untuk Baitul Mal?"
"Saya tidak membawa apa-apa untuk Baitul Mal."
"Mengapa?"
"Setibanya di Hims, saya kumpulkan penduduk yang baik-baik, lalu saya perintahkan mereka memungut dan mengumpulkan pajak. Setiap kali mereka berhasil mengumpulkannya, saya bermusyawarah dengan mereka, untuk apa harta itu harus digunakan dan bagaimana cara membagi-bagikannya kepada yang berhak."
Amirul Mukminin bahagia mendengar penjelasan gubernurnya. Ternyata jabatan tidak membutakan hati Umair r.a. la masih Umair r.a yang dulu, seorang sahabat yang zuhud dan amanah. Kemudian Amirul Mukminin memerintah agar masa jabatan Umair r.a sebagai Gubernur Hims diperpanjang.
Namun, Umair menolaknya, "Maaf, wahai Amirul Mukminin, saya tidak menghendaki jabatan itu lagi. Mulai saat ini saya tidak ingin bekerja lagi untukmu atau untuk orang lain sesudahmu," kata Umair r.a memberikan alasan.
Umair r.a pun minta izin untuk pergi ke sebuah dusun di pinggiran kota Medinah dan akan menetap di sana bersama keluarganya. Di sana ia hidup sangat sederhana dan bahagia hingga ajal menjemputnya.
Ketika Amirul Mukminin, Umar r.a, mendengar kematian Umair r.a, ia berduka sangat dalam. la berkata, "Saya membutuhkan orang-orang seperti Umair bin Sa'ad untuk membantu saya mengelola masyarakat kaum muslimin."
Tuesday, June 26, 2012
Abdullah bin Mas'ud, Seorang Anak Gembala yang Jujur
Tersebutlah seorang anak berjiwa kuat dan jujur bernama Abdullah bin Mas'ud atau lebih terkenal dengan nama Ibnu Mas'ud. la adalah seorang penggembala kambing yang cekatan. Ratusan kambing ia tangani dan tidak satu pun luput dari pengawasannya. la pula yang mengatur makan dan minuman gembalaannya tersebut.
Pada suatu ketika Rasulullah saw. dan Abu Bakar r.a. lewat di sebuah padang yang luas tempat Ibnu Mas'ud menggembalakan kambingnya. Mereka melihat kambing-kambing gembalaan Ibnu Mas'ud yang gemuk dan sehat. Merasa dahaga dan lelah, terbesitlah dalam pikiran mereka berdua untuk meminum susu kambing gembalaan tersebut.
Mereka berdua menghampiri Ibnu Mas'ud yang terlihat sibuk mengatur kambing-kambingnya. Ketika ditanya adakah kambing yang dapat diperah susunya, Ibnu Mas'ud mengiyakan.
Namun, sayangnya, Ibnu Mas'ud tidak bisa memberikan kepada mereka. Bocah itu berkata, "Susu itu ada, tetapi sayang mereka bukan milikku. Kambing-kambing ini hanyalah amanah dari orang lain yang dititipkan kepadaku."
Pada suatu ketika Rasulullah saw. dan Abu Bakar r.a. lewat di sebuah padang yang luas tempat Ibnu Mas'ud menggembalakan kambingnya. Mereka melihat kambing-kambing gembalaan Ibnu Mas'ud yang gemuk dan sehat. Merasa dahaga dan lelah, terbesitlah dalam pikiran mereka berdua untuk meminum susu kambing gembalaan tersebut.
Mereka berdua menghampiri Ibnu Mas'ud yang terlihat sibuk mengatur kambing-kambingnya. Ketika ditanya adakah kambing yang dapat diperah susunya, Ibnu Mas'ud mengiyakan.
Namun, sayangnya, Ibnu Mas'ud tidak bisa memberikan kepada mereka. Bocah itu berkata, "Susu itu ada, tetapi sayang mereka bukan milikku. Kambing-kambing ini hanyalah amanah dari orang lain yang dititipkan kepadaku."
Jangan Kamu yang Menimbang
Suatu hari Umar bin Khaththab r.a menerima kesturi dari Bahrain. Kemudian ia bertanya kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, "Adakah di antara kalian yang bersedia untuk menimbangnya dan membagikan kepada orang Islam?"
Istrinya yang bernama Atikah r.a berkata, "Saya bersedia menimbangnya!"
Mendengar keinginan sang istri, Umar r.a terlihat berpikir sejenak. Kemudian ia kembali bertanya kepada orang-orang, "Adakah yang bersedia menimbang kesturi ini dan membagikannya kepada orang Islam?"
Atikah r.a kembali menawarkan diri untuk kedua kalinya. Namun, Umar r.a tetap tidak menanggapi sehingga ia pun bertanya untuk ketiga kalinya dengan pernyataan kesediannya.Semua orang akan senang menimbang kesturi karena keharumannya. Bahkan, dipastikan ketika seseorang menimbang kesturi, ia pasti akan terkena keharumannya. Umar r.a membolehkan hal itu terjadi pada diri orang lain, tetapi bukan kepada istrinya. Ia khawatir terdapat hak rakyatnya yang ikut ternikmati oleh istrinya.
Sikap kehati-hatiannya atas kepemilikan yang bukan haknya juga dimiliki oleh Umar bin Abdul Aziz yang mendapat julukan Umar kedua. Pada masa pemerintahannya, ia pernah melewati seseorang yang tengah menimbang kesturi. la lalu menutup hidungnya seraya berkata, "Manfaat kesturi ini terletak pada keharumannya. Saya tidak mau menciumnya karena ia bukan milik saya."
Istrinya yang bernama Atikah r.a berkata, "Saya bersedia menimbangnya!"
Mendengar keinginan sang istri, Umar r.a terlihat berpikir sejenak. Kemudian ia kembali bertanya kepada orang-orang, "Adakah yang bersedia menimbang kesturi ini dan membagikannya kepada orang Islam?"
Atikah r.a kembali menawarkan diri untuk kedua kalinya. Namun, Umar r.a tetap tidak menanggapi sehingga ia pun bertanya untuk ketiga kalinya dengan pernyataan kesediannya.Semua orang akan senang menimbang kesturi karena keharumannya. Bahkan, dipastikan ketika seseorang menimbang kesturi, ia pasti akan terkena keharumannya. Umar r.a membolehkan hal itu terjadi pada diri orang lain, tetapi bukan kepada istrinya. Ia khawatir terdapat hak rakyatnya yang ikut ternikmati oleh istrinya.
Sikap kehati-hatiannya atas kepemilikan yang bukan haknya juga dimiliki oleh Umar bin Abdul Aziz yang mendapat julukan Umar kedua. Pada masa pemerintahannya, ia pernah melewati seseorang yang tengah menimbang kesturi. la lalu menutup hidungnya seraya berkata, "Manfaat kesturi ini terletak pada keharumannya. Saya tidak mau menciumnya karena ia bukan milik saya."
Aku adalah Pelayanmu
Siang hari yang terik menggersangkan padang pasir di seluruh penjuru kota. Tidak seorang pun yang kuat menahan panasnya. Unta-unta pun berteduh di bawah bayangan masjid.
Lewatlah sesosok lelaki yang berjalan terburu-buru sambil menutup mukanya menembus panas terik dan angin berdebu. Mungkinkah ia lelaki asing yang sedang mencari tempat berlindung?
Tidak lama kemudian lelaki itu kembali lagi menantang terik matahari yang menyengat. Namun, kali ini ia menyeret seekor sapi yang enggan melakukan perjalanan sulit tersebut. Utsman bin Affan r.a yang mengamati keseluruhan peristiwa sejak awal dari jendela rumahnya tergerak untuk menolong orang tersebut.
Sungguh tak habis pikir, di saat orang lain beristirahat di dalam rumah yang teduh dan hewan-hewan piaraan memilih untuk bermalas-malasan, tetapi orang ini rela berpanas-panasan. Ada apa gerangan? Siapakah orang itu? Semua pertanyaan berkecamuk dalam pikiran Utsman r.a.Ketika Utsman r.a. menyapa orang tersebut, betapa terkejutnya ia ketika mengetahui bahwa lelaki yang sedang kesusahan di hadapannya adalah Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab r.a. Utsman r.a pun segera menyambutnya dan bertanya, "Apa yang kau lakukan, wahai Amirul Mukminin?"sapi, tetapi mengapa ia melakukannya di siang terik? Bukanlah karakter sahabatnya jika mengkhawatirkan harta bendanya hingga seperti ini. Utsman r.a kembali bertanya, "Mengapa kau menggiring sapi itu di siang terik seperti ini? Begitu mendesakkah keadaanmu?"
Umar r.a kembali menjelaskan, "Ini adalah salah satu sapi sedekah kepunyaan anak-anak yatim yang tiba-tiba terlepas dari kandangnya dan lari ke jalanan. Aku langsung mengejarnya dan alhamdulillah dapat kutangkap!"
Utsman r.a tersentak mendengar jawaban sang Amirul Mukminin, "Tidakkah ada orang lain yang dapat melakukan pekerjaan itu? Bukankah kau seorang khalifah? Kau bisa menyuruh orang lain untuk melakukannya?" tanya Utsman r.a.
Umar r.a menggeleng dan berkata tegas, "Apakah orang itu bersedia menanggung dosaku di hari perhitungan kelak? Maukah ia memikul tanggung jawabku di hadapan Allah? Kekuasaan itu adalah amanah bukan kehormatan."
"Berisitirahatlah dulu di tempatku hingga panas meredup, lalu kau bisa melanjutkan perjalananmu," tawar Utsman r.a dengan hati bergetar setelah mendengar penjelasan sang Khalifah.
"Kembalilah ke tempatmu bernaung, sahabatku. Biarkan aku menyelesaikan kewajibanku." Umar r.a kembali menyeret sapinya sambil terseok-seok menempuh perjalanan di bawah terik matahari.
Utsman r.a. hanya bisa memandangi sahabatnya berlalu dari hadapannya dengan rasa haru mendalam. "Engkau adalah cerminan seorang pemimpin negara. Dan kau memberi contoh yang sulit diikuti oleh penerusmu," gumamnya.
Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa Ali bin Abi Thalib r.a mendapati Amirul Mukminin Umar bin Khaththab r.a berjalan terburu-buru di Medinah. Ia bertanya kepada Umar r.a, "Hendak ke mana, wahai Amirul Mukminin?"
Sambil terus berjalan, Umar r.a menjawab singkat, "Seekor unta sedekah kabur!"
"Tidak adakah orang lain yang bisa mencarinya selain dirimu?" tanya Ali r.a.
Kemudian Umar r.a menjawab, "Demi Allah yang mengutus Muhammad dengan kebenaran. Seandainya ada seekor kambing kabur ke sungai Efrat, Umar-lah yang akan dimintai pertanggungjawaban atasnya di akhirat kelak!"
Ali r.a. berkata, "Kau telah memberikan teladan yang melelahkan bagi penerusmu."
Pada riwayat yang lain dikisahkan pula bahwa di musim panas yang terik membakar tanah padang pasir dan mengembuskan angin kering, utusan dari Irak yang dipimpin oleh Ahnaf bin Qais r.a mendatangi Umar bin Khaththab r.a.
Mereka mendapati Amirul Mukminin tengah melepas sorban dan berbalut selendang untuk mengurus unta sedekah. Salah seorang dari utusan tersebut berkata, "Tidakkah sebaiknya engkau memerintahkan seorang hamba sahaya untuk mengurus unta sedekah sehingga engkau tidak perlu melakukan hal ini?"
Umar r.a menjawab dengan rendah hati, "Hamba mana yang lebih menghamba daripadaku? Barangsiapa yang memegang wewenang atas urusan kaum muslimin, ia bertanggung jawab atas mereka. la memiliki kewajiban atas mereka sebagaimana kewajiban seorang hamba kepada tuannya, yaitu memberi nasihat dan menyampaikan amanat!"
Lewatlah sesosok lelaki yang berjalan terburu-buru sambil menutup mukanya menembus panas terik dan angin berdebu. Mungkinkah ia lelaki asing yang sedang mencari tempat berlindung?
Tidak lama kemudian lelaki itu kembali lagi menantang terik matahari yang menyengat. Namun, kali ini ia menyeret seekor sapi yang enggan melakukan perjalanan sulit tersebut. Utsman bin Affan r.a yang mengamati keseluruhan peristiwa sejak awal dari jendela rumahnya tergerak untuk menolong orang tersebut.
Sungguh tak habis pikir, di saat orang lain beristirahat di dalam rumah yang teduh dan hewan-hewan piaraan memilih untuk bermalas-malasan, tetapi orang ini rela berpanas-panasan. Ada apa gerangan? Siapakah orang itu? Semua pertanyaan berkecamuk dalam pikiran Utsman r.a.Ketika Utsman r.a. menyapa orang tersebut, betapa terkejutnya ia ketika mengetahui bahwa lelaki yang sedang kesusahan di hadapannya adalah Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab r.a. Utsman r.a pun segera menyambutnya dan bertanya, "Apa yang kau lakukan, wahai Amirul Mukminin?"sapi, tetapi mengapa ia melakukannya di siang terik? Bukanlah karakter sahabatnya jika mengkhawatirkan harta bendanya hingga seperti ini. Utsman r.a kembali bertanya, "Mengapa kau menggiring sapi itu di siang terik seperti ini? Begitu mendesakkah keadaanmu?"
Umar r.a kembali menjelaskan, "Ini adalah salah satu sapi sedekah kepunyaan anak-anak yatim yang tiba-tiba terlepas dari kandangnya dan lari ke jalanan. Aku langsung mengejarnya dan alhamdulillah dapat kutangkap!"
Utsman r.a tersentak mendengar jawaban sang Amirul Mukminin, "Tidakkah ada orang lain yang dapat melakukan pekerjaan itu? Bukankah kau seorang khalifah? Kau bisa menyuruh orang lain untuk melakukannya?" tanya Utsman r.a.
Umar r.a menggeleng dan berkata tegas, "Apakah orang itu bersedia menanggung dosaku di hari perhitungan kelak? Maukah ia memikul tanggung jawabku di hadapan Allah? Kekuasaan itu adalah amanah bukan kehormatan."
"Berisitirahatlah dulu di tempatku hingga panas meredup, lalu kau bisa melanjutkan perjalananmu," tawar Utsman r.a dengan hati bergetar setelah mendengar penjelasan sang Khalifah.
"Kembalilah ke tempatmu bernaung, sahabatku. Biarkan aku menyelesaikan kewajibanku." Umar r.a kembali menyeret sapinya sambil terseok-seok menempuh perjalanan di bawah terik matahari.
Utsman r.a. hanya bisa memandangi sahabatnya berlalu dari hadapannya dengan rasa haru mendalam. "Engkau adalah cerminan seorang pemimpin negara. Dan kau memberi contoh yang sulit diikuti oleh penerusmu," gumamnya.
Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa Ali bin Abi Thalib r.a mendapati Amirul Mukminin Umar bin Khaththab r.a berjalan terburu-buru di Medinah. Ia bertanya kepada Umar r.a, "Hendak ke mana, wahai Amirul Mukminin?"
Sambil terus berjalan, Umar r.a menjawab singkat, "Seekor unta sedekah kabur!"
"Tidak adakah orang lain yang bisa mencarinya selain dirimu?" tanya Ali r.a.
Kemudian Umar r.a menjawab, "Demi Allah yang mengutus Muhammad dengan kebenaran. Seandainya ada seekor kambing kabur ke sungai Efrat, Umar-lah yang akan dimintai pertanggungjawaban atasnya di akhirat kelak!"
Ali r.a. berkata, "Kau telah memberikan teladan yang melelahkan bagi penerusmu."
Pada riwayat yang lain dikisahkan pula bahwa di musim panas yang terik membakar tanah padang pasir dan mengembuskan angin kering, utusan dari Irak yang dipimpin oleh Ahnaf bin Qais r.a mendatangi Umar bin Khaththab r.a.
Mereka mendapati Amirul Mukminin tengah melepas sorban dan berbalut selendang untuk mengurus unta sedekah. Salah seorang dari utusan tersebut berkata, "Tidakkah sebaiknya engkau memerintahkan seorang hamba sahaya untuk mengurus unta sedekah sehingga engkau tidak perlu melakukan hal ini?"
Umar r.a menjawab dengan rendah hati, "Hamba mana yang lebih menghamba daripadaku? Barangsiapa yang memegang wewenang atas urusan kaum muslimin, ia bertanggung jawab atas mereka. la memiliki kewajiban atas mereka sebagaimana kewajiban seorang hamba kepada tuannya, yaitu memberi nasihat dan menyampaikan amanat!"
Monday, June 25, 2012
Sejarah Singkat Imam Hanafi
Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit al-Kufiy merupakan orang yang faqih di negeri Irak, salah satu imam dari kaum muslimin, pemimpin orang-orang alim, salah seorang yang mulia dari kalangan ulama dan salah satu imam dari empat imam yang memiliki madzhab. Di kalangan umat Islam, beliau lebih dikenal dengan nama Imam Hanafi.
Nasab dan Kelahirannya bin Tsabit bin Zuthi (ada yang mengatakan Zutha) At-Taimi Al-Kufi
Beliau adalah Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa persi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah dan para ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari Babilonia.
Nasab dan Kelahirannya bin Tsabit bin Zuthi (ada yang mengatakan Zutha) At-Taimi Al-Kufi
Beliau adalah Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa persi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah dan para ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari Babilonia.
Perkembangannya
Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.
Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.
Penjaga Malam
Imam Baihaqi meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. hendak bermalam di sebuah tempat sepulangnya dari peperangan. Beliau dan pasukannya mendirikan perkemahan di sana. Ammar bin Yasir r.a dari kaum Muhajirin dan Abbad bin Bashir r.a dari golongan Anshar menawarkan diri untuk menjaga kemah Rasulullah saw.
Mereka pun berjaga di puncak bukit yang kemungkinan akan dilalui oleh musuh. Abbad r.a berkata kepada Ammar r.a, "Bagaimana kalau kita berjaga secara bergiliran? Sekarang aku yang berjaga dan kamu boleh tidur. Berikutnya giliran kamu yang berjaga dan aku yang tidur."
Ammar r.a menyetujuinya, lalu merebahkan diri dan langsung terlelap dengan nyenyaknya. Sambil berjaga, Abbad r.a melaksanakan shalat. Tiba-tiba sebatang anak panah musuh menancap di tubuhnya. Disusul dengan dua anak panah berikutnya.
Mereka pun berjaga di puncak bukit yang kemungkinan akan dilalui oleh musuh. Abbad r.a berkata kepada Ammar r.a, "Bagaimana kalau kita berjaga secara bergiliran? Sekarang aku yang berjaga dan kamu boleh tidur. Berikutnya giliran kamu yang berjaga dan aku yang tidur."
Ammar r.a menyetujuinya, lalu merebahkan diri dan langsung terlelap dengan nyenyaknya. Sambil berjaga, Abbad r.a melaksanakan shalat. Tiba-tiba sebatang anak panah musuh menancap di tubuhnya. Disusul dengan dua anak panah berikutnya.
Filosofi Botol Kecap
Dikisahkan ada seorang pengusaha kaya yang tampak bahagia. Uang bukan masalah baginya. Usahanya maju, dia jarang rugi, hampir semua bisnisnya mendatangkan keuntungan berlipat. Seakan-akan, uang itu mengejar-ngejar dirinya.
Dia pun memiliki istri yang cantik, anak-anak yang sehat dan lucu. Akan tetapi, di balik kesuksesannya itu ada banyak perilaku buruk yang dia lakukan. Pengusaha ini gemar melakukan maksiat.
Karena berkantong tebal, dia dengan mudah bisa bergonta-ganti pasangan alias main perempuan, melakukan kecurangan dalam bisnis, mengonsumsi makanan dan minuman haram, dan beragam kemaksiatan lainnya.
Sampai suatu ketika, dia mengalami sebuah peristiwa yang mengubah hidupnya. Anaknya yang berusia tiga tahun meninggal dunia karena kecelakaan yang disebabkan keteledoran dirinya. Peristiwa itu membawa perubahan dalam dirinya.
Dia pun memiliki istri yang cantik, anak-anak yang sehat dan lucu. Akan tetapi, di balik kesuksesannya itu ada banyak perilaku buruk yang dia lakukan. Pengusaha ini gemar melakukan maksiat.
Karena berkantong tebal, dia dengan mudah bisa bergonta-ganti pasangan alias main perempuan, melakukan kecurangan dalam bisnis, mengonsumsi makanan dan minuman haram, dan beragam kemaksiatan lainnya.
Sampai suatu ketika, dia mengalami sebuah peristiwa yang mengubah hidupnya. Anaknya yang berusia tiga tahun meninggal dunia karena kecelakaan yang disebabkan keteledoran dirinya. Peristiwa itu membawa perubahan dalam dirinya.
Tempe Setengah Jadi
Abah dan Emak tinggal di sebuah desa yang cukup terpencil. Setiap hari, mereka bekerja membuat tempe untuk kemudian Abah menjualnya ke pasar. Jualan tempe merupakan satu-satunya sumber pendapatan mereka untuk bertahan hidup.
Pada satu pagi, Abah jatuh sakit, Emak pun mengambil alih tugas menjual tempe. Saat tengah bersiap-siap untuk pergi ke pasar menjual tempenya, tiba-tiba Emak sadar bahwa tempe buatannya hari itu masih belum matang, masih separah jadi.
Emak merasa sangat sedih karena tempe yang masih muda dan belum matang pastinya tidak akan laku. Itu artinya, untuk hari itu, mereka tidak akan mendapatkan pemasukan. Ketika Emak dalam kesedihan, tiba-tiba Abah mengingatkan Emak bahwa Allah Swt mampu melakukan perkara-perkara ajaib karena tiada yang mustahil bagi-Nya.
Pada satu pagi, Abah jatuh sakit, Emak pun mengambil alih tugas menjual tempe. Saat tengah bersiap-siap untuk pergi ke pasar menjual tempenya, tiba-tiba Emak sadar bahwa tempe buatannya hari itu masih belum matang, masih separah jadi.
Emak merasa sangat sedih karena tempe yang masih muda dan belum matang pastinya tidak akan laku. Itu artinya, untuk hari itu, mereka tidak akan mendapatkan pemasukan. Ketika Emak dalam kesedihan, tiba-tiba Abah mengingatkan Emak bahwa Allah Swt mampu melakukan perkara-perkara ajaib karena tiada yang mustahil bagi-Nya.
Thursday, June 21, 2012
Wawasan Seorang Bocah
Dikisahkan bahwa Al-Makmun memisahkan diri dari pasukannya, lalu berjalan melewati salah satu perkam-pungan Arab. la melihat seorang bocah sedang berdiri mengisi girbah (tempat air) sambil memanggil ayahnya untuk minta bantuan agar dapat menguasai pegangan girbahnya.
Bahasa yang digunakan anak itu begitu santun dan baik layaknya orang dewasa sehingga menarik perhatian Khalifah Al-Makmun. la pun bertanya kepada anak itu, "Siapakah engkau? Semoga Allah memberkatimu."
Anak itu menyebutkan namanya dan balik bertanya, "Dan siapakah engkau?"
Al-Makmun menjawab, "Keturunan Adam."
"Memang benar keturunan Adam, tetapi keturunan Adam yang mana?" tanya anak itu kembali.
Bahasa yang digunakan anak itu begitu santun dan baik layaknya orang dewasa sehingga menarik perhatian Khalifah Al-Makmun. la pun bertanya kepada anak itu, "Siapakah engkau? Semoga Allah memberkatimu."
Anak itu menyebutkan namanya dan balik bertanya, "Dan siapakah engkau?"
Al-Makmun menjawab, "Keturunan Adam."
"Memang benar keturunan Adam, tetapi keturunan Adam yang mana?" tanya anak itu kembali.
Pencuri Angsa
Muhammad bin Ka'ab Al-Qiradhy menceritakan sebuah kisah berikut ini:
Seorang lelaki mengadu kepada Nabi Sulaiman a.s., "Ya, Nabi Allah, seorang tetanggaku telah mencuri angsaku!"
Lalu, Nabi Sulaiman a.s. pun menyeru kepada orang-orang di sana, "Wahai orang-orang sekalian, marilah kita shalat berjemaah!"
Seusai shalat, Nabi Sulaiman a.s. menyampaikah khotbah kepada jemaah.
Seorang lelaki mengadu kepada Nabi Sulaiman a.s., "Ya, Nabi Allah, seorang tetanggaku telah mencuri angsaku!"
Lalu, Nabi Sulaiman a.s. pun menyeru kepada orang-orang di sana, "Wahai orang-orang sekalian, marilah kita shalat berjemaah!"
Seusai shalat, Nabi Sulaiman a.s. menyampaikah khotbah kepada jemaah.
Gantilah Pintumu!
Ibnu Abbas r.a. mengisahkan sebuah riwayat sebagai berikut:
Suatu hari Nabi Ibrahim a.s. berkunjung ke rumah putranya, Ismail a.s., yang saat itu telah beranjak dewasa dan telah memiliki seorang istri keturunan suku Jurhum.
Kedatangannya diterima oleh menantunya yang menyatakan bahwa suaminya tidak berada di rumah. Akan tetapi, istri Ismail a.s. belum mengenal Ibrahim a.s. sebagai mertuanya. Ketika ditanya ke mana Ismail a.s. pergi, istrinya menjawab, "Dia pergi mencari nafkah untuk kami."
Kemudian Ibrahim a.s. bertanya kepadanya tentang kehidupan sehari-hari mereka. Wanita itu menjawab, "Kami ini termasuk manusia kurang beruntung." Kemudian menambahkan, "kami selalu berada dalam kesusahan dan kesulitan," adu istrinya kepada Ibrahim a.s.
Suatu hari Nabi Ibrahim a.s. berkunjung ke rumah putranya, Ismail a.s., yang saat itu telah beranjak dewasa dan telah memiliki seorang istri keturunan suku Jurhum.
Kedatangannya diterima oleh menantunya yang menyatakan bahwa suaminya tidak berada di rumah. Akan tetapi, istri Ismail a.s. belum mengenal Ibrahim a.s. sebagai mertuanya. Ketika ditanya ke mana Ismail a.s. pergi, istrinya menjawab, "Dia pergi mencari nafkah untuk kami."
Kemudian Ibrahim a.s. bertanya kepadanya tentang kehidupan sehari-hari mereka. Wanita itu menjawab, "Kami ini termasuk manusia kurang beruntung." Kemudian menambahkan, "kami selalu berada dalam kesusahan dan kesulitan," adu istrinya kepada Ibrahim a.s.
Wednesday, June 20, 2012
Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih Al-Alawy
Di Kota Bunga, Malang, Jawa Timur, ada seorang auliya’ yang terkenal karena ketinggian ilmunya. Ia juga hafal ribuan hadits bersama dengan sanad-sanadnya.
Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawy dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut, pada hari Selasa 15 Safar tahun 1316 H/1896 M. Saat bersamaan menjelang kelahirannya, salah seorang ulama besar, Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf, bermimpi bertemu Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir Jailani. Dalam mimpi itu Syekh Abdul Qadir Jailani menitipkan kitab suci Al-Quranul Karim kepada Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf agar diberikan kepada Habib Ahmad bin Muhammad Bilfagih.
Pagi harinya Habib Syaikhan menceritakan mimpinya kepada Habib Ahmad. Habib Ahmad mendengarkan cerita dari Habib Syaikhan, kemudian berkata, ”Alhamdulillah, tadi malam aku dianugerahi Allah SWT seorang putra. Dan itulah isyarat takwil mimpimu bertemu Syekh Abdul Qadir Jailani yang menitipkan Al-Quranul Karim agar disampaikan kepadaku. Oleh karena itu, putraku ini kuberi nama Abdul Qadir, dengan harapan, Allah SWT memberikan nama maqam dan kewalian-Nya sebagaimana Syekh Abdul Qadir Jailani.”
Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawy dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut, pada hari Selasa 15 Safar tahun 1316 H/1896 M. Saat bersamaan menjelang kelahirannya, salah seorang ulama besar, Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf, bermimpi bertemu Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir Jailani. Dalam mimpi itu Syekh Abdul Qadir Jailani menitipkan kitab suci Al-Quranul Karim kepada Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf agar diberikan kepada Habib Ahmad bin Muhammad Bilfagih.
Pagi harinya Habib Syaikhan menceritakan mimpinya kepada Habib Ahmad. Habib Ahmad mendengarkan cerita dari Habib Syaikhan, kemudian berkata, ”Alhamdulillah, tadi malam aku dianugerahi Allah SWT seorang putra. Dan itulah isyarat takwil mimpimu bertemu Syekh Abdul Qadir Jailani yang menitipkan Al-Quranul Karim agar disampaikan kepadaku. Oleh karena itu, putraku ini kuberi nama Abdul Qadir, dengan harapan, Allah SWT memberikan nama maqam dan kewalian-Nya sebagaimana Syekh Abdul Qadir Jailani.”
Tuesday, June 19, 2012
Tidak takut di katakan Bodoh
Imam Malik adalah sosok alim ulama yang rendah hati. Meskipun ia selalu belajar dan menimba ilmu dari 900 orang guru, ia tidak pernah merasa dirinya paling pintar. Imam Malik berkata, "Sering kali aku tidak tidur semalam suntuk untuk memikirkan jawaban atas permasalahan yang diajukan kepadaku."
Suatu hari salah seorang muridnya datang dari suatu daerah yang jauh. Masyarakat tempat ia tinggal memiliki masalah penting yang belum terselesaikan. Sang murid bermaksud untuk menanyakan hal tersebut kepada gurunya, Imam Malik.
Akan tetapi, Imam Malik tidak bisa memberikan jawaban kepadanya karena memang beliau tidak tahu jawaban atas permasalahan tersebut. Dengan sejujurnya, beliau berkata, "Aku tidak tahu."
Suatu hari salah seorang muridnya datang dari suatu daerah yang jauh. Masyarakat tempat ia tinggal memiliki masalah penting yang belum terselesaikan. Sang murid bermaksud untuk menanyakan hal tersebut kepada gurunya, Imam Malik.
Akan tetapi, Imam Malik tidak bisa memberikan jawaban kepadanya karena memang beliau tidak tahu jawaban atas permasalahan tersebut. Dengan sejujurnya, beliau berkata, "Aku tidak tahu."
Dipercaya Menjadi Pemimpin Kafilah Dagang
Khadijah adalah seorang saudagar wanita yang kaya-raya di kota Mekah. Dia hendak mengirim kafilah dagangnya ke negeri Syam sehingga dia membutuhkan seseorang yang dapat dipercaya untuk membimbing dan mengawasi rombongan dagang tersebut.
Tersiarlah kabar bahwa di Mekah ada seorang pemuda yang terkenal akan kejujurannya. Keluhuran budi pekerti dan kepribadiannya terpelihara dengan baik, padahal kebanyakan pemuda saat itu senang berfoya-foya.
Namun, pemuda yang satu ini sama sekali tidak terpengaruh oleh kebiasaan jahiliah masyarakat kotanya karena perlindungan Allah SWT. Siapakah dia? Dialah Muhammad bin Abdillah keturunan Bani Hasyim yang terpandang.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Kabar tentang kejujuran Muhammad sampai ke telinga Khadijah. Ia tahu Muhammad selalu menemani pamannya berdagang ke Syam.
Tersiarlah kabar bahwa di Mekah ada seorang pemuda yang terkenal akan kejujurannya. Keluhuran budi pekerti dan kepribadiannya terpelihara dengan baik, padahal kebanyakan pemuda saat itu senang berfoya-foya.
Namun, pemuda yang satu ini sama sekali tidak terpengaruh oleh kebiasaan jahiliah masyarakat kotanya karena perlindungan Allah SWT. Siapakah dia? Dialah Muhammad bin Abdillah keturunan Bani Hasyim yang terpandang.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Kabar tentang kejujuran Muhammad sampai ke telinga Khadijah. Ia tahu Muhammad selalu menemani pamannya berdagang ke Syam.
Firasat Orang Shiddiq
Seorang pemuda Yahudi yang sangat tampan masuk ke dalam masjid dengan sikapnya yang sangat hormat. Pemuda itu berpakaian indah, memakai wangi-wangian yang harum, budi dan tutur katanya pun sopan. Semua orang yang berada di masjid mengira ia adalah orang Islam, padahal sebenarnya ia Yahudi yang belum memeluk Islam.
Syekh Ibrahim Al-Khawwash yang sedang berada di dalam masjid berkata kepada sahabat-sahabatnya, "Pemuda itu adalah seorang Yahudi."
Para sahabat kurang setuju dengan perkataan Syekh Ibrahim. Mereka menganggap pemuda itu adalah jemaah masjid yang hendak shalat. Pemuda itu mengetahui bahwa mereka sedang membicarakannya.Mendengar pertanyaan itu, para sahabat Syekh Ibrahim enggan menjawabnya. Mereka diam seribu bahasa. Namun, pemuda itu mendesak mereka, "Tak perlu takut, aku hanya ingin tahu apa yang diucapkan Syekh Ibrahim tadi?"
Akhirnya, salah satu dari jemaah angkat bicara, "Syekh mengatakan bahwa kau seorang Yahudi. Apakah benar?"
Syekh Ibrahim Al-Khawwash yang sedang berada di dalam masjid berkata kepada sahabat-sahabatnya, "Pemuda itu adalah seorang Yahudi."
Para sahabat kurang setuju dengan perkataan Syekh Ibrahim. Mereka menganggap pemuda itu adalah jemaah masjid yang hendak shalat. Pemuda itu mengetahui bahwa mereka sedang membicarakannya.Mendengar pertanyaan itu, para sahabat Syekh Ibrahim enggan menjawabnya. Mereka diam seribu bahasa. Namun, pemuda itu mendesak mereka, "Tak perlu takut, aku hanya ingin tahu apa yang diucapkan Syekh Ibrahim tadi?"
Akhirnya, salah satu dari jemaah angkat bicara, "Syekh mengatakan bahwa kau seorang Yahudi. Apakah benar?"
Gelar Ash-Shiddiq untuk Abu Bakar r.a.
Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. adalah sahabat setia Rasulullah saw yang senantiasa mendampingi beliau pada masa-masa pelik penyiaran Islam. la memiliki nama lengkap Abdullah bin Utsman bin Amir bin Ka'ab At-Taimi Al-Quraisy.
Sebelum memeluk Islam, ia bernama Abdul Kakbah dan ketika besar mendapat nama lain, yaitu Atiq, berasal dari nama lain Kakbah yang berarti Purba. Ada juga yang mengatakan Al-Atiq adalah gelar yang diberikan Rasulullah yang berarti 'yang dibebaskan'.
Alasannya pun beragam. Ada yang berpendapat karena Rasulullah pernah mengatakan kepadanya, "Anda adalah orang yang dibebaskan Allah dari api neraka!" Ada pula yang berpendapat bahwa gelar itu diberikan karena ketampanan wajahnya atau karena banyaknya hamba sahaya yang dimerdekakan olehnya.Penamaan Bakar ini karena mempunyai arti dini atau awal, sebagaimana sabda Rasulullah saw tentang keislamannya, "Tidak kuajak seorang pun masuk Islam melainkan ia ragu dan bimbang, kecuali Abu Bakar. la tidak ragu dan bimbang ketika kusampaikan kepodanya." (HR Bukhari)dunia ini memberikan duka yang mendalam bagi sang pembawa risalah.Isra' Mi'raj. Sungguh anugerah nikmat yang luar biasa bagi Rasulullah saw. karena peristiwa itu tidak pernah dialami nabi-nabi sebelumnya.
Sebelum memeluk Islam, ia bernama Abdul Kakbah dan ketika besar mendapat nama lain, yaitu Atiq, berasal dari nama lain Kakbah yang berarti Purba. Ada juga yang mengatakan Al-Atiq adalah gelar yang diberikan Rasulullah yang berarti 'yang dibebaskan'.
Alasannya pun beragam. Ada yang berpendapat karena Rasulullah pernah mengatakan kepadanya, "Anda adalah orang yang dibebaskan Allah dari api neraka!" Ada pula yang berpendapat bahwa gelar itu diberikan karena ketampanan wajahnya atau karena banyaknya hamba sahaya yang dimerdekakan olehnya.Penamaan Bakar ini karena mempunyai arti dini atau awal, sebagaimana sabda Rasulullah saw tentang keislamannya, "Tidak kuajak seorang pun masuk Islam melainkan ia ragu dan bimbang, kecuali Abu Bakar. la tidak ragu dan bimbang ketika kusampaikan kepodanya." (HR Bukhari)dunia ini memberikan duka yang mendalam bagi sang pembawa risalah.Isra' Mi'raj. Sungguh anugerah nikmat yang luar biasa bagi Rasulullah saw. karena peristiwa itu tidak pernah dialami nabi-nabi sebelumnya.
Barang Cacat yang Terjual
Syaqiq Al-Bakhli bercerita bahwa suatu ketika seorang pedagang jujur bernama Bisyr berdagang ke negeri Mesir dengan membawa 80 potong kain sutra. Barang dagangannya itu adalah titipan Abu Hanifah.
Sebelum keberangkatannya, Abu Hanifah memberi tahu bahwa ada satu potong kain yang cacat. Ia pun menunjukkan kain cacat itu dan berpesan agar hal ini diberitahukan kepada calon pembeli.
Bisyr pun beraksi menjualkan barang dagangannya. Begitu asyiknya melayani pembeli yang sangat banyak untuk membeli dagangannya, ia lupa memberitahukan cacat sepotong kain pada pembeli yang menawarnya. Akhirnya, seluruh barang terjual habis termasuk sepotong kain yang cacat tersebut.
Sebelum keberangkatannya, Abu Hanifah memberi tahu bahwa ada satu potong kain yang cacat. Ia pun menunjukkan kain cacat itu dan berpesan agar hal ini diberitahukan kepada calon pembeli.
Bisyr pun beraksi menjualkan barang dagangannya. Begitu asyiknya melayani pembeli yang sangat banyak untuk membeli dagangannya, ia lupa memberitahukan cacat sepotong kain pada pembeli yang menawarnya. Akhirnya, seluruh barang terjual habis termasuk sepotong kain yang cacat tersebut.
Maha Melihat
Konon, semasa muda, Hasan Al-Basri adalah pemuda yang tampan dan kaya. Sayangnya ia suka menghambur-hamburkan waktunya untuk berfoya-foya. Suatu hari ia melihat kain sutra hijau yang sangat indah. Ia pun tertarik untuk membelinya sebagai hadiah bagi seorang gadis idamannya.Kemudian dihampirinya pelayan toko kain tersebut dan bertanya, "Saya ingin membeli kain sutra hijau itu. Berapa harganya?"
Tak disangka, pelayan tersebut menjawab, "Saya tidak berani menjualnya!"
Tentu saja jawaban pelayan itu membuat Hasan Al-Basri keheranan, lalu ia berkata, "Jika kau tak ingin menjualnya, lantas untuk apa kaupajang kain itu?"
Tak disangka, pelayan tersebut menjawab, "Saya tidak berani menjualnya!"
Tentu saja jawaban pelayan itu membuat Hasan Al-Basri keheranan, lalu ia berkata, "Jika kau tak ingin menjualnya, lantas untuk apa kaupajang kain itu?"
Kisah Saudagar Perhiasan
Seorang tabiin bernama Yunus bin Ubaid adalah pedagang yang jujur. Ketika hendak menunaikan shalat berjamaah di masjid, ia menitipkan tokonya kepada saudaranya. Kemudian datanglah seorang Badui hendak membeli perhiasan di toko tersebut.
Ia mencari sebuah permata seharga 400 dirham. Saudara Yunus menunjukkan batu permata yang harganya hanya 200 dirham. Orang Badui tersebut langsung membelinya dengan harga 400 dirham tanpa menawar lagi.
Di tengah jalan, dia berpapasan dengan Yunus bin Ubaid. Yunus mengetahui bahwa orang Badui tersebut baru mampir ke tokonya. Ia kemudian bertanya barang apa yang sudah ia beli dari tokonya. Orang Badui itu mengatakan bahwa ia telah membeli permata seharga 400 dirham sambil menunjukkan permata seharga 200 dirham tadi.
Ia mencari sebuah permata seharga 400 dirham. Saudara Yunus menunjukkan batu permata yang harganya hanya 200 dirham. Orang Badui tersebut langsung membelinya dengan harga 400 dirham tanpa menawar lagi.
Di tengah jalan, dia berpapasan dengan Yunus bin Ubaid. Yunus mengetahui bahwa orang Badui tersebut baru mampir ke tokonya. Ia kemudian bertanya barang apa yang sudah ia beli dari tokonya. Orang Badui itu mengatakan bahwa ia telah membeli permata seharga 400 dirham sambil menunjukkan permata seharga 200 dirham tadi.
Monday, June 18, 2012
Kisah Pencuri Saleh
Seorang pemuda lugu menuntut ilmu kepada seorang guru fara'idh (ilmu hitung harta waris). Kehidupan ekonomi sang guru sangat pas-pasan. Dalam suatu kesempatan, sang guru berkata kepada murid-muridnya, "Kalian tidak boleh menjadi beban orang lain. Sesungguhnya orang alim yang menengadahkan tangannya kepada orang-orang yang berharta tidak ada kebaikan pada dirinya. Pergilah kalian semua dan bekerjalah seperti pekerjaan ayah kalian masing-masing. Bawalah selalu kejujuran dan ketakwaan kepada Allah dalam menjalankan pekerjaan tersebut!"
Pemuda itu tidak tahu tentang pekerjaan ayahnya yang telah meninggal. Ia pun segera pulang ke rumah untuk menanyakan hal tersebut kepada sang ibu.
Setibanya di rumah, pemuda itu menemui ibunya, lalu berkata, "Bu, tolong beri tahu kepadaku apa pekerjaan sepeninggal ayah dahulu?"
Sang ibu heran dengan pertanyaan anaknya yang tiba-tiba itu. Ia pun balik bertanya, "Apa urusanmu hingga ingin mengetahui pekerjaan ayahmu?" Ungkapan sang ibu itu menunjukkan bahwa ia enggan menjawab pertanyaan anaknya.
Hadiah Kejujuran
Tersebutlah seorang saleh bernama Al-Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdul Baihaqi. Ia terkenal akan kejujuran dan sifat amanahnya.
Saat itu ia merasa sangat lapar. Padahal, ia tidak memiliki uang sepeser pun untuk membeli makanan. Ia pun tidak menemukan sesuatu yang halal untuk dimakan.
Tiba-tiba ia melihat sesuatu yang menarik pandangannya. Sebuah kantong yang terbuat dari sutra tergeletak begitu saja di tengah jalan. Ia pun memungutnya dan membawanya pulang ke rumah.
Ketika kantong itu ia buka, isinya adalah kalung permata yang sangat indah. Melihat isi kantong itu ia sangat terkejut karena baru pertama kali melihat perhiasan begitu indahnya. Namun, imannya menyuruh untuk mencari pemiliknya agar bisa dikembalikan kalung tersebut kepadanya.
Al-Qadhi keluar dari rumahnya. Ia mendengar seseorang berteriak mencari kantongnya yang hilang. Ternyata orang itu adalah lelaki tua yang menawarkan sejumlah uang bagi yang menemukan kantongnya.
Ia berkata, "Barangsiapa menemukan kantong sutra berisi permata milikku dan mau mengembalikannya kepadaku, aku akan menebusnya dengan lima ratus dinar!"
Betapa senangnya Al-Qadhi jika lelaki tua itu benar-benar pemilik kantong berisi permata yang ia temukan. Segera ia panggil lelaki tua tersebut, "Hai Pak Tua, kemarilah, ceritakanlah kepadaku ciri-ciri kantongmu!"
Lelaki tua itu menggambarkan dengan sedetail-detailnya bentuk kantong permata tersebut. Benarlah bahwa kantong permata yang ia temukan adalah milik lelaki tua itu. Tanpa membuang waktu, ia pun langsung memulangkan kantong itu pada si empunya.
Bahagia tak terkira terpancar dari wajah lelaki tua itu. Ia pun memberikan sekantong uang yang ia janjikan kepada Al-Qadhi. Namun, Al-Qadhi menolak dengan berkata, "Barang itu memang milikmu dan kau berhak memilikinya tanpa perlu memberiku sesuatu."
"Ambillah karena sudah janjiku untuk memberimu hadiah!" bujuk lelaki tua itu.
Sekali lagi Al-Qadhi menolak meskipun didesak berkali-kali oleh lelaki tua tersebut. Akhirnya, lelaki tua itu mengucapkan terima kasih sambil berlalu meninggalkan Al-Qadhi.
Hari-hari berikutnya setelah kejadian itu, Al-Qadhi berlayar meninggalkan Mekah. Malang baginya karena perahu yang ditumpanginya hancur dihantam ombak besar. Tidak ada penumpang yang selamat kecuali dirinya. Ia berpegangan pada pecahan kayu perahu.
Ia terdampar di sebuah pulau berpenduduk. Ketika dilihatnya sebuah masjid, ia segera menuju ke sana dan membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Beberapa orang dari penduduk setempat mendengarnya. Mereka lalu memintanya untuk diajari membaca Al-Qur'an.
Ketika mengetahui bahwa Al-Qadhi bisa menulis, mereka pun minta untuk diajari cara menulis. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga dewasa, mereka berdatangan ke masjid untuk belajar. Ia pun mendapat uang yang lumayan banyak dari mereka.
Melihat kesalehan Al-Qadhi, salah seorang dari mereka menawarinya untuk menikah dengan seorang gadis yatim. Ia berkata kepada Al-Qadhi, "Kami memiliki seorang putri yatim. Ia memiliki harta yang cukup. Maukah kau menikahinya?"
Awalnya Al-Qadhi menolak tawaran tersebut. Namun, setelah didesak terus-menerus ia pun menerima tawaran tersebut.
Ketika gadis yatim yang dimaksud dibawa ke hadapannya, Al-Qadhi mengenali kalung permata yang melingkar di leher gadis itu. Kalung itu adalah kalung permata yang pernah ditemukannya.
Salah seorang dari mereka yang mengetahui bahwa Al-Qadhi tertarik pada kalung tersebut bertanya, "Kau hanya memerhatikan kalung itu. Mengapa kau tidak mau memerhatikan gadis yang memakainya?"
Al-Qadhi menceritakan pengalamannya yang lalu saat menemukan permata yang hilang kepada mereka. Setelah mereka mendengarkan seluruh cerita darinya, mereka langsung meneriakkan tahlil dan takbir.
Al-Qadhi tidak mengerti mengapa mereka melakukan itu. Kemudian salah seorang dari mereka menjelaskan, "Tahukah engkau bahwa orang tua yang pernah kau jumpai di Mekah dahulu adalah ayah gadis ini. Dia pernah mengatakan bahwa tidak pernah ia menjumpai seorang muslim yang lebih baik dan jujur daripada orang yang telah mengembalikan kalung tersebut. Kemudian dia berdoa agar dapat dipertemukan kembali dengannya dan dapat menikahkan dengan putrinya. Sekarang doanya telah terkabul!" ujar mereka.
Akhirnya, pernikahan antara keduanya pun berlangsung dengan khidmat. Mereka pun mengarungi bahtera hidup dengan bahagia bersama anak-anak mereka.
Kejujuran Seorang Khalifah
Kota Andalusia, Spanyol, dikuasai oleh seorang khalifah yang jujur dan adil bernama Al-Manshur bin Abi Amir Al-Hajib. Dia memiliki rencana besar untuk membangun sebuah jembatan sebagai penghubung dua kota yang dipisahkan sebuah sungai.
Proyek itu dianggarkan empat puluh ribu dinar emas. Meskipun menelan biaya besar, khalifah melihat sisi manfaatnya yang lebih besar bagi kelancaran transportasi dan kegiatan perekonomian masyarakatnya.
Diharapkan proyek itu dapat terealisasi. Oleh karena itu, penguasa harus membeli sepetak tanah milik orang tua yang miskin karena pada tanah itulah akan dibangun fondasi untuk jembatan tersebut. Khalifah menyuruh petugas proyek untuk membeli tanah tersebut dengan harga 100 dinar.
Menawar agar Lebih Mahal
Ahmad bin Hanbal meriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah sedang duduk di masjid bersama para sahabatnya. Beliau bersabda, "Sebentar lagi seorang lelaki dengan wajah bercahaya akan datang. Dia adalah salah seorang dari orang-orang terbaik dari Yaman, dan ada tanda malaikat di dahinya."
Tak lama kemudian, orang tersebut datang kepada Rasulullah saw dan menyatakan keislamannya. Ia adalah Jarir bin Abdullah Al-Bajali. (HR Muslim)
Tanda-tanda kemuliaan sahabat nabi, Jarir bin Abdullah Al-Bajali, telah diberitakan oleh Allah SWT ketika ia hendak menyatakan keislamannya. Ia adalah sosok sahabat yang menjunjung tinggi kejujuran dan selalu menepati janji.
Khalifah Gila?
Memang betul, Khalifah Umar bin Khaththab telah berubah ingatan. Banyak yang melihatnya dengan mata kepala sendiri. Barangkali karena Umar di masa mudanya sarat dengan dosa, seperti merampok, mabuk-mabukkan, malah suka mengamuk tanpa berperi kemanusiaan, sampai orang tidak bersalah banyak yang menjadi korban. Itulah yang mungkin telah menyiksa batinnya sehingga jadi tertimpa penyakit jiwa.
Dulu Umar sering menangis sendirian sesudah selesai menunaikan shalat. Dan tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak, juga sendirian. Tidak ada orang lain yang membuatnya tertawa. Bukankah hal itu merupakan isyarat yang jelas bahwa Umar bin Kaththab sudah gila?
Abdurrahman bin Auf, sebagai salah seorang sahabat Umar yang paling akrab, merasa tersinggung dan sangat murung mendengar tuduhan itu. Apalagi, hampir semua rakyat Madinah telah sepakat menganggap Umar betul-betul sinting. Dan, sudah tentu, orang sinting tidak layak lagi memimpin umat atau negara.
Yang lebih mengejutkan rakyat, pada waktu melakukan shalat Jum'at yang lalu, ketika sedang berada di mimbar untuk membacakan khotbahnya, sekonyong-konyong Umar berseru, "Hai sariah, hai tentaraku. Bukit itu, bukit itu, bukit itu!"
Jemaah pun geger. Sebab ucapan tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan isi khotbah yang disampaikan. "Wah, khalifah kita benar-benar sudah gila," gumam rakyat Madinah yang menjadi makmum salat Jumat hari itu.
Tetapi Abdurrahman tidak mau bertindak gegabah, ia harus tahu betul, apa sebabnya Umar berbuat begitu. Maka didatanginya Umar, dan ditanyainya, "Wahai Amirul Mukminin. Mengapa engkau berseru-seru di sela-sela khotbah engkau seraya pandangan engkau menatap kejauhan?"
Umar dengan tenang menjelaskan, "Begini, sahabatku. Beberapa pekan yang lewat aku mengirimkan Suriah, pasukan tentara yang tidak kupimpin langsung, untuk membasmi kaum pengacau. Tatkala aku sedang berkhotbah, kulihat pasukan itu dikepung musuh dari segala penjuru. Kulihat pula satu-satunya benteng untuk mempertahankan diri adalah sebuah bukit dibelakang mereka. Maka aku berseru: bukit itu, bukit itu, bukit itu!"
Setengah tidak percaya, Abdurrahman megerutkan kening. "Lalu, mengapa engkau dulu sering menangis dan tertawa sendirian selesai melaksanakan shalat fardhu?" tanya Abdurrahman pula.
Umar menjawab, "Aku menangis kalau teringat kebiadabanku sebelum Islam. Aku pernah menguburkan anak perempuanku hidup-hidup. Dan aku tertawa jika teringat akan kebodohanku. Kubikin patung dari tepung gandum, dan kusembah-sembah seperti Tuhan."
Abdurrahman lantas mengundurkan diri dari hadapan Khalifah Umar. Ia belum bisa menilai, sejauh mana kebenaran ucapan Umar tadi. Ataukah hal itu justru lebih membuktikan ketidakwarasannya sehingga jawabannya pun kacau balau? Masak ia dapat melihat pasukannya yang terpisah amat jauh dari masjid tempatnya berkhotbah?
Akhirnya, bukti itupun datang tanpa dimintanya. Yaitu manakala sariah yang kirimkan Umar tersebut telah kembali ke Madinah. Wajah mereka berbinar-binar meskipun nyata sekali tanda-tanda kelelahan dan bekas-bekas luka yang diderita mereka. Mereka datang membawa kemenangan.
Komandan pasukan itu, pada hari berikutnya, bercerita kepada masyarakat Madinah tentang dasyatnya peperangan yang mereka alami. "Kami dikepung oleh tentara musuh, tanpa harapan akan dapat meloloskan diri dengan selamat. Lawan secara beringas menghantam kami dari berbagai jurusan. Kami sudah luluh lantak. Kekuatan kami nyaris terkuras habis. Sampai tibalah saat salat Jum'at yang seharusnya kami kerjakan. Persis kala itu, kami mendengar sebuah seruan gaib yang tajam dan tegas: 'Bukit itu, bukit itu, bukit itu!' Tiga kali seruan tersebut diulang-diulang sehingga kami tahu maksudnya".
Serta-merta kami pun mundur ke lereng bukit. Dan kami jadikan bukit itu sebagai pelindung di bagian belakang. Dengan demikian kami dapat menghadapi serangn tentara lawan dari satu arah, yakni dari depan. Itulah awal kejayaan kami."
Abdurrahman mengangguk-anggukkan kepala dengan takjub. Begitu pula masyarakat yang tadinya menuduh Umar telah berubah ingatan. Abdurrahman kemudian berkata, "Biarlah Umar dengan kelakuannya yang terkadang menyalahi adat. Sebab ia dapat melihat sesuatu yang indera kita tidak mampu melacaknya"
Sunday, June 17, 2012
Al-Habib Ali bin Abu Bakar As-Seggaf
Selain dikenali orang sebagai seorang wali beliau juga salah seorang tokoh ulama yang kenamaan. Beliau sering memberitahukan apa yang tersembunyi dalam hati murid-murid beliau.
Salah seorang murid beliau yang bernama Soleh Bahramil berkata: “Pada suatu kali ketika aku sedang sibuk berzikir di tengah majlis beliau, tibatiba di hatiku tergerak sesuatu yang mengganggu zikirku. Beliau menoleh padaku sambil berkata: “Berzikir itu jauh lebih penting dari apa yang tergerak di hatimu”.
Buah Doa dan Kesungguhan
Seorang santri yang sangat rajin mengaji di sebuah surau di Ranah Minang sana memiliki satu mimpi dan mimpi itu terus saja menyambanginya, nyaris setiap hari dia ingin berhaji! Dalam benak dan akal sehatnya, konsep mampu bukan berarti finansial atau keuangan semata, tetapi juga mampu dalam hal potensi.
Dia berpotensi dan telah berusaha menuntut ilmu agar ilmu itu dapat membimbingnya dalam beribadah, ter-masuk berhaji. Dia pun sangat yakin bahwa Allah akan menolong hamba-Nya yang berdoa dan bersungguh-sungguh kepada-Nya. Dia pun dengan tekun mempelajari berbagai ragam bahasa.
Dia pelajari pula berbagai keterampilan hidup, seperti memasak dan mengenal adat istiadat berbagai bangsa. Tak luput, pula dia pelajari ilmu berniaga dan berwirausaha. Akhirnya, pada usia yang kedua puluh tahun, waktu yang dinantinya pun tiba: dia akan memulai perjalanan hajinya.
Banyak orang mencibir, bahkan pihak keluarga pun turut mempertanyakan tekadnya itu. Maklum, mereka menyadari bahwa mereka bukanlah keluarga yang berkecukupan. Apakah dengan bekal yang seadanya itu dia akan dapat mencapai Tanah Suci sesuai dengan yang diharapkan?
Diiringi keraguan kaum kerabat, ninik mamak, dan handai taulan, berangkatlah dia menuju Malaka, sebuah negeri di Semenanjung Malaysia. Dia menghabiskan waktu dua tahun untuk bekerja dan berwirausaha. Lalu, negeri India dijelajahinya, kemudian Pakistan, Afghanistan, dan akhirnya tibalah dia di Teheran, ibu kota Iran. Seorang gadis Parsi dinikahinya dan bersama, mereka mencari peruntungan di Isfahan. Pada tahun kelima, setelah keberangkatannya dari terminal Batu Sangkar, tibalah dia di gerbang Kota Mekah.
Bagi siapa yang meyakini Allah akan membantunya, tidak ada hal di dunia ini yang tidak mungkin. Syaratnya mudah saja, lillahi ta'ala, berdoa, dan berusaha.
Dia berpotensi dan telah berusaha menuntut ilmu agar ilmu itu dapat membimbingnya dalam beribadah, ter-masuk berhaji. Dia pun sangat yakin bahwa Allah akan menolong hamba-Nya yang berdoa dan bersungguh-sungguh kepada-Nya. Dia pun dengan tekun mempelajari berbagai ragam bahasa.
Dia pelajari pula berbagai keterampilan hidup, seperti memasak dan mengenal adat istiadat berbagai bangsa. Tak luput, pula dia pelajari ilmu berniaga dan berwirausaha. Akhirnya, pada usia yang kedua puluh tahun, waktu yang dinantinya pun tiba: dia akan memulai perjalanan hajinya.
Banyak orang mencibir, bahkan pihak keluarga pun turut mempertanyakan tekadnya itu. Maklum, mereka menyadari bahwa mereka bukanlah keluarga yang berkecukupan. Apakah dengan bekal yang seadanya itu dia akan dapat mencapai Tanah Suci sesuai dengan yang diharapkan?
Diiringi keraguan kaum kerabat, ninik mamak, dan handai taulan, berangkatlah dia menuju Malaka, sebuah negeri di Semenanjung Malaysia. Dia menghabiskan waktu dua tahun untuk bekerja dan berwirausaha. Lalu, negeri India dijelajahinya, kemudian Pakistan, Afghanistan, dan akhirnya tibalah dia di Teheran, ibu kota Iran. Seorang gadis Parsi dinikahinya dan bersama, mereka mencari peruntungan di Isfahan. Pada tahun kelima, setelah keberangkatannya dari terminal Batu Sangkar, tibalah dia di gerbang Kota Mekah.
Bagi siapa yang meyakini Allah akan membantunya, tidak ada hal di dunia ini yang tidak mungkin. Syaratnya mudah saja, lillahi ta'ala, berdoa, dan berusaha.
Gara-gara Kucing
AIkisah, sepasang suami-istri dikaruniai seorang anak pada tahun pertama masa pernikahannya. Tentu saja, mereka sangat gembira dengan anugerah Allah tersebut karena memiliki anak termasuk salah satu harapan besarnya. Akan tetapi, kebahagiaan mereka tidak bertahan lama. Allah Swt. berkehendak menimpakan penyakit aneh kepada sang anak yang masih bayi itu. Berbagai ikhtiar pengobatan telah dilakukan kedua orang tuanya. Namun, pengobatan seakan takberdaya untuk menyembuhkannya, keadaan sang Anak se-makin memburuk.
Tidak hanya keadaan anaknya yang semakin memburuk, keadaan ibu-bapaknya pun menjadi buruk akibat kesedihan dan besarnya energi yang dikeluarkan untuk mengobati anak semata wayangnya itu. "Perasaan buruk itu menyeruak di dalam hati karena kami merasa takberdaya memberikan pengobatan bagi penderitaan anak kami," ujarnya.
Ketika kondisi sang Anak sudah sangat mengkhawatirkan, ada seseorang yang menunjukkan kepada pasangan muda ini seorang dokter yang berpengalaman dan terkenal. Mereka pun segera mendatangi dokter tersebut. Saat tiba di tempat praktik dokter itu, demam anaknya semakin tinggi.
Dokter itu pun berkata, "Apabila panas anak Anda tidak turun malam ini, kemungkinan besar dia akan meninggal esok hari."
Keduanya kembali bersama sang Anak dengan kegelisahan yang memuncak. Sakit menyerang tubuh sang Ayah memikirkan anaknya hingga kelopak matanya takmampu terpejam tidur malam hari.
Untuk menenangkan diri, dia pun segera shalat dan memohon jalan terbaik kepada Allah. Setelah selesai shalat, dia langsung pergi dengan wajah bermuram durja meninggalkan istrinya yang menangis sedih di dekat kepala anaknya.
Ayah muda ini terus berjalan di jalanan dan tidak tahu apa yang harus diperbuat untuk anaknya. Tiba-tiba, dia teringat pada sebuah hadits Rasulullah saw. tentang sedekah yang berbunyi, "Obatilah orang yang sakit di antara kalian dengan sedekah."
Namun, dia bingung, siapa yang harus dia temui pada waktu malam seperti ini. Dia bisa saja mengetuk pintu seseorang dan bersedekah kepadanya, tapi apa yang akan dikatakan oleh tuan rumah kepada dia jika dia melakukan itu?
Dalam kondisi bimbang seperti itu, tiba-tiba, ada seekor kucing kelaparan yang mengeong di kegelapan malam. Dia pun segera teringat pada pertanyaan seorang sahabat kepada Rasulullah saw, "Apakah berbuat baik pada binatang kami ada pahalanya?"
Rasulullah menjawab, "Di dalam setiap apa yang bernyawa ada pahalanya." (HR Al Bukhari dan Muslim)
Tanpa pikir panjang, dia pun segera kembali ke rumah, mengambil sepotong daging, dan memberi makan kucing itu.
Dia menutup pintu belakang rumahnya. Suara pintu itu bercampur dengan suara istrinya yang bertanya, "Mengapa kamu telah kembali dengan cepat?" dia pun bergegas menuju ke arah istrinya dan mendapati wajah sang Istri telah berubah. Dari permukaan wajahnya, terlihat raut kegembiraan.
Wanita muda itu berkata, "Sesudah engkau pergi, aku tertidur sebentar masih dalam keadaan duduk. Maka, aku melihat sebuah pemandangan yang menakjubkan. Dalam tidurku, aku melihat diriku mendekap anakku. Tiba-tiba, ada seekor burung hitam yang sangat besar dari langit yang terang hendak menyambar anak kita untuk mengambilnya dariku. Aku menjadi sangat ketakutan, dan tidak tahu apa yang harus aku perbuat? Tiba-tiba, muncul seekor kucing yang menyerang secara dahsyat burung itu, dan keduanya terlibat perkelahian sengit. Aku tidak melihat kucing itu lebih kuat daripada burung itu karena si burung badannya gemuk. Namun, akhirnya burung elang itu pun pergi menjauh. Aku terbangun mendengar suaramu ketika datang tadi."
Mendengar cerita istrinya, dia hanya tersenyum. Melihat suaminya, sang Istri menatap ke arahnya dengan terheran-heran.
Keduanya lalu bergegas mendekati anaknya. Dilihatnya demam sang Anak sudah mereda dan matanya sudah mulai terbuka. Esok harinya, sang Anak sudah mau makan dan sehat seperti sedia kala.
Tidak hanya keadaan anaknya yang semakin memburuk, keadaan ibu-bapaknya pun menjadi buruk akibat kesedihan dan besarnya energi yang dikeluarkan untuk mengobati anak semata wayangnya itu. "Perasaan buruk itu menyeruak di dalam hati karena kami merasa takberdaya memberikan pengobatan bagi penderitaan anak kami," ujarnya.
Ketika kondisi sang Anak sudah sangat mengkhawatirkan, ada seseorang yang menunjukkan kepada pasangan muda ini seorang dokter yang berpengalaman dan terkenal. Mereka pun segera mendatangi dokter tersebut. Saat tiba di tempat praktik dokter itu, demam anaknya semakin tinggi.
Dokter itu pun berkata, "Apabila panas anak Anda tidak turun malam ini, kemungkinan besar dia akan meninggal esok hari."
Keduanya kembali bersama sang Anak dengan kegelisahan yang memuncak. Sakit menyerang tubuh sang Ayah memikirkan anaknya hingga kelopak matanya takmampu terpejam tidur malam hari.
Untuk menenangkan diri, dia pun segera shalat dan memohon jalan terbaik kepada Allah. Setelah selesai shalat, dia langsung pergi dengan wajah bermuram durja meninggalkan istrinya yang menangis sedih di dekat kepala anaknya.
Ayah muda ini terus berjalan di jalanan dan tidak tahu apa yang harus diperbuat untuk anaknya. Tiba-tiba, dia teringat pada sebuah hadits Rasulullah saw. tentang sedekah yang berbunyi, "Obatilah orang yang sakit di antara kalian dengan sedekah."
Namun, dia bingung, siapa yang harus dia temui pada waktu malam seperti ini. Dia bisa saja mengetuk pintu seseorang dan bersedekah kepadanya, tapi apa yang akan dikatakan oleh tuan rumah kepada dia jika dia melakukan itu?
Dalam kondisi bimbang seperti itu, tiba-tiba, ada seekor kucing kelaparan yang mengeong di kegelapan malam. Dia pun segera teringat pada pertanyaan seorang sahabat kepada Rasulullah saw, "Apakah berbuat baik pada binatang kami ada pahalanya?"
Rasulullah menjawab, "Di dalam setiap apa yang bernyawa ada pahalanya." (HR Al Bukhari dan Muslim)
Tanpa pikir panjang, dia pun segera kembali ke rumah, mengambil sepotong daging, dan memberi makan kucing itu.
Dia menutup pintu belakang rumahnya. Suara pintu itu bercampur dengan suara istrinya yang bertanya, "Mengapa kamu telah kembali dengan cepat?" dia pun bergegas menuju ke arah istrinya dan mendapati wajah sang Istri telah berubah. Dari permukaan wajahnya, terlihat raut kegembiraan.
Wanita muda itu berkata, "Sesudah engkau pergi, aku tertidur sebentar masih dalam keadaan duduk. Maka, aku melihat sebuah pemandangan yang menakjubkan. Dalam tidurku, aku melihat diriku mendekap anakku. Tiba-tiba, ada seekor burung hitam yang sangat besar dari langit yang terang hendak menyambar anak kita untuk mengambilnya dariku. Aku menjadi sangat ketakutan, dan tidak tahu apa yang harus aku perbuat? Tiba-tiba, muncul seekor kucing yang menyerang secara dahsyat burung itu, dan keduanya terlibat perkelahian sengit. Aku tidak melihat kucing itu lebih kuat daripada burung itu karena si burung badannya gemuk. Namun, akhirnya burung elang itu pun pergi menjauh. Aku terbangun mendengar suaramu ketika datang tadi."
Mendengar cerita istrinya, dia hanya tersenyum. Melihat suaminya, sang Istri menatap ke arahnya dengan terheran-heran.
Keduanya lalu bergegas mendekati anaknya. Dilihatnya demam sang Anak sudah mereda dan matanya sudah mulai terbuka. Esok harinya, sang Anak sudah mau makan dan sehat seperti sedia kala.
Cinta Seorang Anak Gembala
Pada zaman dahulu, hidup seorang gembala yang bersemangat bebas. la tidak punya uang dan tidak punya keinginan untuk memilikinya. Yang ia miliki hanyalah hati yang lembut dan penuh keikhlasan; hati yang berdetak dengan kecintaan kepada Tuhan.
Sepanjang hari, ia menggembalakan ternaknya melewati lembah dan ladang melagukan jeritan hatinya kepada Tuhan yang dicintainya, "Duhai Pangeran tercinta, di manakah Engkau, supaya aku dapat persembahkan seluruh hidupku kepada-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat menghambakan diriku pada-Mu? Wahai Tuhan, untuk-Mu aku hidup dan bernapas. Karena berkat-Mu aku hidup. Aku ingin mengorbankan domba-Ku ke hadapan kemuliaan-Mu."
Suatu hari, Nabi Musa melewati padang gembalaan tersebut. la memperhatikan sang Gembala yang sedang duduk di tengah ternaknya dengan kepala yang mendongak ke langit. Sang gembala menyapa Tuhan, "Ah, di manakah Engkau, supaya aku dapat menjahit baju-Mu, memperbaiki kasur-Mu, dan mempersiapkan ranjang-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat menyisir rambut-Mu dan mencium kaki-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat mengilapkan sepatu-Mu dan membawakan air susu untuk minuman-Mu?"
Sepanjang hari, ia menggembalakan ternaknya melewati lembah dan ladang melagukan jeritan hatinya kepada Tuhan yang dicintainya, "Duhai Pangeran tercinta, di manakah Engkau, supaya aku dapat persembahkan seluruh hidupku kepada-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat menghambakan diriku pada-Mu? Wahai Tuhan, untuk-Mu aku hidup dan bernapas. Karena berkat-Mu aku hidup. Aku ingin mengorbankan domba-Ku ke hadapan kemuliaan-Mu."
Suatu hari, Nabi Musa melewati padang gembalaan tersebut. la memperhatikan sang Gembala yang sedang duduk di tengah ternaknya dengan kepala yang mendongak ke langit. Sang gembala menyapa Tuhan, "Ah, di manakah Engkau, supaya aku dapat menjahit baju-Mu, memperbaiki kasur-Mu, dan mempersiapkan ranjang-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat menyisir rambut-Mu dan mencium kaki-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat mengilapkan sepatu-Mu dan membawakan air susu untuk minuman-Mu?"
Doa Seorang Pemburu
Suatu pagi, seorang laki-laki pergi hendak berburu mencari rezeki yang halal. Namun, sampai hampir malam, ia belum mendapatkan satu pun binatang buruan. la lalu berdoa sepenuh hati, "Ya Allah, anak-anakku menunggu kelaparan di rumah, berilah aku seekor binatang buruan."
Tidak lama setelah doanya selesai ia panjatkan, Allah memberikannya rezeki: jala yang dibawa pemburu itu mengenai seekor ikan yang sangat besar. la pun bersyukur kepada Allah dan pulang ke rumah dengan penuh bahagia.
Di tengah perjalanan pulang, ia bertemu dengan kelompok raja yang hendak berburu juga. Raja heran dan takjub luar biasa begitu melihat ikan sebegitu besar yang dibawa pemburu itu. Lalu, ia menyuruh pengawal untuk mengambil ikan itu secara paksa dari tangan sang Pemburu.
Tidak lama setelah doanya selesai ia panjatkan, Allah memberikannya rezeki: jala yang dibawa pemburu itu mengenai seekor ikan yang sangat besar. la pun bersyukur kepada Allah dan pulang ke rumah dengan penuh bahagia.
Di tengah perjalanan pulang, ia bertemu dengan kelompok raja yang hendak berburu juga. Raja heran dan takjub luar biasa begitu melihat ikan sebegitu besar yang dibawa pemburu itu. Lalu, ia menyuruh pengawal untuk mengambil ikan itu secara paksa dari tangan sang Pemburu.
Thursday, June 14, 2012
Putri Raja Yang Memendam Rindu
Diceritakan lagi dari syaikh Ikbrahim A-khawwas rahimahullah, bahawanya dia berkata:
Pada suatu ketika, rasa hati ku tergetar untuk pergi ke kota rom, seolah olah ada orang yang memanggil manggil nama ku supaya aku berangkat segera kesana. Kemudian aku terfikir ,buat aku kesana. Rom itu adalah tempat kediaman orang orang nasrani yang sangat membenci orang orang islam. Namun begitu hati ku tetap kesitu seperti ada besi berani yang menariknya , maka aku bersiap siap akan berangkat menuja ke kota Rom itu.
Setelah berjaalan beberapa hari, tibalah aku di kota Rom itu. Aku lihat banggunan banggunan nya tinggi tinggi dan teratur. Aku pun lihat rumah rumah orang nasrani itu, dan memerhatikan kawasan kawasan mereka. Dan sukurlah pertolonggan Allah sentiasa menyertai diri ku, dan inayah Nya selalu mengiringi aku. Tidak ada suatu kesusahan pun yang menghalangi perjalanan ku itu. Setiap kali aku bertemu orang orang nasrani itu, mereka memalingkan pandangan nya daripada ku dan terus menjauh kan diri, hingga akhirnya sampailah aku dimuka sebuah gedung yang besar lagi indah pula.
Pada suatu ketika, rasa hati ku tergetar untuk pergi ke kota rom, seolah olah ada orang yang memanggil manggil nama ku supaya aku berangkat segera kesana. Kemudian aku terfikir ,buat aku kesana. Rom itu adalah tempat kediaman orang orang nasrani yang sangat membenci orang orang islam. Namun begitu hati ku tetap kesitu seperti ada besi berani yang menariknya , maka aku bersiap siap akan berangkat menuja ke kota Rom itu.
Setelah berjaalan beberapa hari, tibalah aku di kota Rom itu. Aku lihat banggunan banggunan nya tinggi tinggi dan teratur. Aku pun lihat rumah rumah orang nasrani itu, dan memerhatikan kawasan kawasan mereka. Dan sukurlah pertolonggan Allah sentiasa menyertai diri ku, dan inayah Nya selalu mengiringi aku. Tidak ada suatu kesusahan pun yang menghalangi perjalanan ku itu. Setiap kali aku bertemu orang orang nasrani itu, mereka memalingkan pandangan nya daripada ku dan terus menjauh kan diri, hingga akhirnya sampailah aku dimuka sebuah gedung yang besar lagi indah pula.
Sejarah Singkat Imam Malik
Dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al Rasyid (penguasa saat itu), tertarik mengikuti ceramah al muwatta' (himpunan hadits) yang diadakan Imam Malik. Untuk hal ini, khalifah mengutus orang memanggil Imam. Namun Imam Malik memberikan nasihat kepada Khalifah Harun, ''Rasyid, leluhur Anda selalu melindungi pelajaran hadits. Mereka amat menghormatinya. Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia yang mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan mencari manusia.''
Sedianya, khalifah ingin agar para jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Imam Malik. ''Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.'' Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.
Sedianya, khalifah ingin agar para jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Imam Malik. ''Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.'' Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.
Kubah Ajaib
Suatu hari, Nabi Sulaiman menerima wahyu dari Allah agar pergi ke tepian sebuah pantai untuk menyaksikan keajaiban yang akan ditunjukkan Allah kepadanya. Beliau pun segera pergi ke pantai tersebut dengan diiringi para pengikutnya.
Setibanya di pantai, Nabi Sulaiman terus mengintai-ngintai untuk mencari sesuatu, seperti yang dikatakan oleh Allah. Setelah lama mencari, dia tidak menjumpai apa pun selain desiran ombak dan butir-butir pasir yang terhampar luas.
Perdana menterinya yang bernama Asif bin Barkhiya meminta izin untuk menyelam ke dalam samudra. Setelah mendapat izin, dia membaca sesuatu dan terus menyelam ke dalam laut. Tidak lama kemudian, Asif menjumpai sebuah kubah yang sangat indah. Dengan kuasa yang diberikan oleh Allah, Asif dapat membawa kubah tersebut naik ke darat dan diletakkan di hadapan Nabi Sulaiman. Putra Nabi Daud ini sangat takjub melihat keindahan kubah tersebut. dia segera masuk dan mendapati seorang pemuda berada di dalamnya. meninggal dunia, dia memanggil si Pemuda
Setibanya di pantai, Nabi Sulaiman terus mengintai-ngintai untuk mencari sesuatu, seperti yang dikatakan oleh Allah. Setelah lama mencari, dia tidak menjumpai apa pun selain desiran ombak dan butir-butir pasir yang terhampar luas.
Perdana menterinya yang bernama Asif bin Barkhiya meminta izin untuk menyelam ke dalam samudra. Setelah mendapat izin, dia membaca sesuatu dan terus menyelam ke dalam laut. Tidak lama kemudian, Asif menjumpai sebuah kubah yang sangat indah. Dengan kuasa yang diberikan oleh Allah, Asif dapat membawa kubah tersebut naik ke darat dan diletakkan di hadapan Nabi Sulaiman. Putra Nabi Daud ini sangat takjub melihat keindahan kubah tersebut. dia segera masuk dan mendapati seorang pemuda berada di dalamnya. meninggal dunia, dia memanggil si Pemuda
Al-Habib Abdurrohman bin Zein bin Ali Al-Jufri
Sayyidy al-Habib Abdurrohman bin Zein bin Ali bin Ahmad al-Jufri dilahirkan tahun 1938 di Semarang. Ayahanda beliau seorang ulama’ yang terkenal dengan ketinggian akhlaqnya, keluasan ilmunya, kesederhanaan hidupnya, yaitu Sayyidy al-Habib Zein bin Ali bin Ahmad al-Jufri, Ibunda beliau adalah wanita sholehah Sayyidah Hababah Sidah binti Muhdlor Assegaf.
Ketika usia beliau 8 tahun, beliau diantar oleh ayahanda beliau ke kota Tarim di Hadromaut (Yaman) untuk belajar pada Sayyidy al-Habib Abdulloh bin Umar as-Syatiri. Beberapa guru beliau di sana adalah Sayyidy al-Habib Alwiy bin Abdulloh bin Shihab, Sayyidy al-Habib Ali bin Hafidz bin Syeh Abubakar, Sayyidy al-Habib Ali bin Toha al-Haddad dll. Di Hadromaut, beliau mendapat ijazah pembacaan Maulid al-Ahzab secara langsung dari Syekh Muhammad al-Ahzab.
Berhaji Karena Menunda Haji
Setelah sekian lama menabung, mengumpulkan lembar demi lembar rupiah dari hasil berjualan, terkumpullah dalam tabungan Pak Ahmad sejumlah uang yang cukup untuk membayar ongkos naik haji (ONH). Impian sejak muda untuk menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci sebentar lagi akan terwujud. Doa-doa yang senantiasa terucap selepas shalat taklama lagi akan menjadi kenyataan.
Pak Ahmad bukanlah orang kaya. Dia hanyalah penjual es yang harus bekerja ekstrakeras agar bisa menyisihkan sebagian uangnya untuk berhaji. Kuatnya keinginan Pak Ahmad untuk berhaji menjadikan dia mampu berdisiplin menyisihkan sebagian uangnya untuk ditabungkan.
Pak Ahmad bukanlah orang kaya. Dia hanyalah penjual es yang harus bekerja ekstrakeras agar bisa menyisihkan sebagian uangnya untuk berhaji. Kuatnya keinginan Pak Ahmad untuk berhaji menjadikan dia mampu berdisiplin menyisihkan sebagian uangnya untuk ditabungkan.
Subscribe to:
Posts (Atom)